Masyarakat bahasa kehilangan seorang tokoh yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri dalam pengembangan bahasa Indonesia. Siapa yang tidak mengenal Prof. Anton M. Moeliono di negeri ini. Beliau adalah guru besar emeritus di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan pernah memimpin Pusat Bahasa periode 1984-1989. Pada era 1973-1977, beliau sering muncul di TVRI (saat itu belum ada stasiun televisi swasta) untuk menjelaskan persoalan kebahasaan, mulai dari ejaan, ucapan, pemenggalan kata, hingga kalimat. Sebagai ahli bahasa, Prof. Anton sangat sistematis dan runtun jika berbicara dan menulis, yang menggambarakan kejernihan nalar dan pola pikirnya. Karena itu, siapa pun yang mendengar dan membaca tulisanya terasa menikmati karyanya. Kini beliau sudah tidak ada. Beliau tutup usia Senin (25/7/2011) pada usia 82 tahun.
Prof. Anton memimpin lembaga yang khusus mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan lingua franca masyarakat Indonesia di tengah-tengah posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa yang belum jadi (not established language). Sebagai bahasa yang belum jadi, bahasa Indonesia memiliki kosa kata yang sangat terbatas, jika dibanding dengan bahasa-bahasa lain di dunia seperti bahasa Inggris, Arab, Mandarin, Russia dan bahasa-bahasa besar lainnya. Karena keterbatasan kosakata tersebut, bahasa Indonesia sering tidak mampu mengakomodasi semua kepentingan untuk menyampaikan maksud dan menyatakan sesuatu. Kesalahpahaman kerap terjadi karena keterbatasan kosakata, sehingga kata tertentu dipaksa untuk dipakai mengungkap realitas tertentu. Salah satu sumbangan penting Prof. Anton Moeliono dalam pengembangan bahasa Indonesia adalah lahirnya Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan atau yang sering disebut EYD menjadi sistem baru penulisan dalam bahasa Indonesia. Lewat EYD, ejaan-ejaan seperti /tj/ menjadi /c/, /ch/ menjadi /kh/, /dj/ menjadi /j/, dan /oe/ menjadi /u/. Sebelum ada EYD, kata /cara/ ditulis /tjara/, /akhir/ditulis /achir/, /jumpa/ ditulis /djumpa/, /pemuda/ ditulis /pemoeda/. Perubahan perlu dilakukan karena sistem ejaan tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem ejaan bahasa Belanda. Dengan EYD, sistem penulisan dalam bahasa Indonesia menjadi lebih simpel dan praktis. Bahasa menuntut kepraktisan dan efisiensi, baik dalam penulisan maupun ucapan. Selain EYD, sumbangan besar Prof. Anton Moeliono adalah lahirnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Dua karya tersebut sangat penting dan menjadi pedoman baku bagi siapa saja yang mempelajari bahasa Indonesia. Selain dua karya monumental tersebut, Prof. Anton Moeliono juga dikenal sebagai pakar pereka dan pecipta kata bahasa Indonesia yang hasilnya kita pakai dalam kehidupan sehari-hari hingga hari ini sehingga jumlah kosakata bahasa Indonesia terus bertambah dari waktu ke waktu. Sebagaimana dilaporkan Kompas (27/7/2011), kata-kata seperti rekayasa, pantau, canggih, kawasan berikat, swalayan adalah sebagian contoh buah karyanya yang sebagian besar merupakan serapan dari bahasa asing. Hingga akhir hayatnya, Prof. Anton Moeliono juga dikenal gigih memperjuangkan idenya agar sebagai bangsa yang sedang tumbuh memasuki peradaban beraksara, kita menyerap kata asing dengan mendasarkan pada tulisan dan bukan lagi pada lafal. Alasannya, peradaban dan bahasa tulis tak terpisahkan. Semua peradaban yang kita kenal di muka bumi adalah peradaban tulis. Peradaban Melayu menjadi tidak dikenal atau setidaknya tidak dianggap penting di dunia karena tidak mengembangkan peradaban tulis. Budaya lisan tampak lebih dominan daripada budaya tulis menulis. Akibatnya, karya tulis dalam peradaban Melayu tidak banyak. Wujudnya dalam kehidupan sehari-hari adalah masyarakat Indonesia sebagai keturunan masyarakat Melayu lebih banyak ngobrol daripada menulis. Padahal, budaya ngobrol tidak akan meninggalkan jejak. Peradaban berkembang lewat jejak tulisan. Melalui ide yang diperjuangkan, Prof. Anton Moeliono sejatinya ingin menekankan betapa pentingnya peradaban tulis bagi sebuah bangsa sebagaimana dinyatakan Peter Russel dalam The White Hole in Time: Our Future Evolution and the Meaning of Now, (1992) yang mencoba menghitung laju dan percepatan pertumbuhan ilmu dan teknologi akibat peradaban tulis dengan hasil cukup mengejutkan. Andai kita membiji satu satuan pengetahuan kolektif manusia untuk Tahun 1 Masehi, itu dicapai manusia selama 50.000 tahun. Menjelang tahun 1500, karena manusia telah berhasil mengembangkan sistem bahasa tulis, volume pengetahuan mengalami penggandaan, menjadi dua kali lebih besar daripada sebelumnya. Penggandaan berikutnya terjadi tahun 1750. Hingga awal 1900-an, jumlah pengetahuan kolektif manusia sudah mencapai 8 (delapan) satuan. Masa penggandaan itu makin lama makin singkat. Untuk penggandaan berikutnya, umat manusia hanya butuh waktu 50 tahun, yang menurun lagi menjadi 10 tahun. Pada tahun 1960 umat manusia memiliki 32 satuan pengetahuan kolektif. Tiga belas tahun kemudian (1973) menjadi 128 satuan. Kini, penggandaan akan terjadi setiap 18 bulan. Tak pelak lagi, timbunan pengetahuan umat manusia sekarang jauh lebih besar ketimbang yang terkumpul selama 7 millenia alias 7000 tahun. Dengan menegaskan pentingya bahasa tulis yang baku, Prof. Anton Moeliono ingin memperjuangkan agar bangsa ini bisa menjadi salah satu bangsa dengan peradaban yang maju, lewat pengembangan bahasa tulis. Selain keinginan kuaatnya memajukan peradaban tulis, Prof. Anton Moeliono juga sangat risau dengan ketidakajegan beberapa kata serapan dari bahasa asing yang sudah menjadi kosakata masyarakat sehari-hari. Misalnya, kata ‘management’ menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia /manajemen/, kadang-kadang menjadi /managemen/. Mana yang baku?. Jika serapan berdasarkan pada tulisan, maka yang benar adalah /managemen/, bukan /manajemen/. Demikian juga kata ‘strategic’, kadang-kadang diserap menjadi /strategis/, /strategik/, dan /strategi/. Kata ‘theoretic’ juga menimbulkan kebingungan. Kadang-kadang menjadi /teoretik/, /teoritis/, teoretis/, dan /teoritik/. Hingga kini masing-masing dipakai oleh banyak pengguna bahasa Indonesia. Masih banyak contoh yang lain yang semuanya menggambarkan bahwa bahasa Indonesia belum mapan. Kini Prof. Anton Moeliono sudah berpulang ke Sang Pencipta. Tidak ada lagi orang yang terus mengingatkan kita secara gigih tentang pentingnya membangun masyarakat berperadaban maju lewat pembakuan bahasa. Sebagian besar waktu hidupnya dihabiskan untuk mengembangkan dan menata bahasa Indonesia menjadi bahasa maju, sebagaimana bahasa-bahasa besar lainnya di dunia. Jasamu sangat besar dalam mereka dan mencipta kata. Setiap kali kata-kata seperti ‘rekayasa’, ‘pantau’, ‘canggih’, ‘kawasan berikat’, ‘swalayan’ diucapkan atau ditulis, setiap kali itu pula namamu akan terus dikenang oleh para pengguna bahasa Indonesia di mana pun mereka berada. Selamat jalan Prof. Anton Moeliono. ______________ Malang, 1/8/2011
Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo
Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang