Siapa Sebenarnya Yang Harus Digelisahkan ?

Hari Jumát pagi kemarin, saya pulang dari Jakarta, setelah semalaman mengikuti  acara dengar pendapat dengan DPR, memperbicangkan tentang pendidikan tingggi Islam. Di perjalanan, dari hotel ke bandara, seperti biasa,  saya menyukai berbincang-bincang dengan sopir taksi, tentang apa saja. Berbincang-bincang dengan sopir taksi kadang lebih nikmat, karena selalu ada kejujuran, ketulusan dan keterbukaan.  Terasa pembicaraan itu tidak ada yang dibuat-buat.

  Taksi yang saya tumpangi, sopirnya tampak sudah  tua. Kira-kira umurnya  sudah lebih dari enam puluh tahun. Hitungan saya ternyata tidak meleset. Setelah saya tanya berapa lama menjadi sopir, ia mengaku, mulai bekerja subagai sopir tahun 1970. Dan sejak itu,   belum pernah berhenti. Berarti hitung-hitung, sudah sekitar 40 tahun, ia bekerja sebagai pengemudi.   Umumnya,  sopir taksi tidak mau mengawali pembicaraan dengan penumpangnya.  Namun, jika penumpang sudah memulai ngajak bicara, biasanya mereka secara terbuka suka melayani pembicaraan, hingga hal yang menyangkut pribadi sekalipun.  Mungkin, hal itu dilakukan agar penumpang lebih merasa senang atas pelayanannya.    Setelah saya menanyakan tentang pengalamannya menjadi sopir dan juga keluarganya, ia menceritakan semua itu.  Sopir yang mengaku asli kelahiran Jakarta ini, memiliki empat anak dan enam cucu. Semua anaknya telah bekerja, dan semua hidupnya lumayan, lebih baik dari dirinya. Namun, dia tidak mau merepotkan anaknya. Sekalipun sudah tua, ia tetap ingin bekerja. Orang hidup, katanya harus bekerja. Bahkan dengan bekerja, ia yakin akan tetap  sehat.   Sekalipun hanya bekerja sebagai sopir, ia sudah merasa bahagia. Empat anaknya, semuanya telah berhasil lulus sekolah dan mendapatkan pekerjaan. Selain itu, ia  telah memiliki rumah sendiri, sekalipun sederhana. Sopir taksi ini mengaku, rumah tidak perlu besar, yang penting adalah bersih,  sehat, dan aman, berada di lingkungan yang baik.   Mendengarkan cerita yang menggembirakan itu, saya menambahi, bahwa masih ada kekayaannya yang belum ia disebutkan. Sopir taksi yang telah berusia lanjut tersebut menanyakan, kekayaan apa yang dimaksudkan itu. Saya jawab, bahwa Pak sopir sebenarnya memiliki kekayaan yang belum tentu banyak orang memilikinya, ialah rasa syukur. Rupanya, dia senang sekali dengan kalimat saya itu. Ia tertawa, dan berkali-kali menyebut alhamdulillah.   Rupanya dengan perasaan senang itu, ia bertambah semangat berbicara. Apa lagi umumnya memang sopir taksi, kaya informasi. Saya sendiri lebih banyak mendengarkan. Mungkin karena senang  saya sebut telah memiliki rasa syukur itu, ia bercerita tentang banyak hal. Sampai-sampai, ia bahkan membandingkan dirinya dengan para pejabat tinggi yang dilihatnya. Di mata sopir taksi,  para tokoh atau orang-orang besar di Jakarta tidak terlalu untung.   Umumnya mereka menjadi kaya, tetapi  belum tentu mereka bisa menikmati kekayaannya. Ia menyebut satu demi satu kehidupan orang-orang besar yang dimaksudkan itu.   Menurut penglihatan dia, dari sekian banyak tokoh itu, hanya satu yang benar-benar dikagumi, ialah Ali Sadikin. Ia sangat kagum dengan cara berpikir  dan kebijakan yang diambil oleh mantan Gubernur DKI tersebut. Bangsa Indonesia menjadi seperti  ini, menurut pandangan sopir taksi tersebut, karena hanya memiliki satu tokoh yang benar-benar bisa ditokohkan itu. Ia menyebut bahwa mantan Gubernur DKI inilah,  yang  merancang dan membangun jalan layang, Masjid Istiqlal,  dan banyak fasilitas kota   lainnya.   Ia mengaku,  semula tidak sependapat dengan cara  Ali Sadikin dalam mencari uang untuk membiayai pembangunan itu. Cara itu ialah  melegalkan dan mengambil pajak dari judi di jakarta. Tapi cara itu, kata sopir taksi tersebut, dianggap ternyata lebih baik daripada mengambil pinjaman  luar negeri. Resiko judi memang besar, tetapi hanya dirasakan oleh mereka yang menjalankannya. Rakyat kecil tidak ikut menderita, bahkan teruntungkan oleh  fasilitas yang dibangun dari hasil itu.   Kekaguman lainnya terhadap Ali Sadikin, adalah tentang ketulusan tokoh ini. Ia membangun DKI, dengan cara yang tidak lazim itu, tetapi  bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.  Sopir taksi tersebut  mengatakan, sekalipun Ali Sadikin sehebat itu, tetapi sampai sekarang belum pernah lihat dan mendengar jumlah kekayaannya yang berlebihan. Ali Sadikin katanya, tidak sebagaimana tokoh lain, tidak terdengar memiliki rumah, kebun., atau kekayaan lain yang melimpah.   Melalui pembicaraan panjang sopir taksi tersebut, saya menangkap, justru sopir taksi ini menunjukkan rasa kasihan terhadap  kehidupan para tokoh atau elite di ibu kota. Di mata sopir taksi ini, para elite memiliki kekuasaan dan juga harta yang melimpah, tetapi belum tentu merasakan kenikmatan dan kebahagiaan dari kelebihannya  itu. Selanjutnya, sebagai penutup pembicaraan, karena sudah hampir nyampai di terminal bandara, saya tanyakan apa yang ingin diraih dalam hidup ini. Ternyata dia menjawab, sudah merasa puas dan bahagia,  sekalipun hanya sebagai sopir taksi. Sebaliknya, ia malah merasa kasihan melihat para tokoh yang tidak berhasil menunaikan amanahnya.   Dari pembicaraan itu, saya menangkap bahwa, perasaan sukses hidup tidak saja dirasakan oleh orang kaya, pejabat, atau penguasa. Sopir taksi pun juga merasakan hal itu. Memang benar, kalau keberhasilan hidup itu hanya diraih oleh orang-orang kaya dan pejabat tinggi, maka alangkah sedikitnya orang yang disebut berhasil dalam kehidupan ini. Selain itu, ternyata memang benar, pemilik keberhasilan hidup yang sebenarnya,  adalah orang-orang yang bisa menyukuri apa yang diterimanya. Maka, yang justru perlu dikasihani adalah, orang-orang yang gagal menyukuri nikmat, dan bukan terletak pada posisi dan jenis pekerjaannya. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share