Tarian Kerrapen Sapeh Dan Bank Century

Dalam sebuah acara pertemuan Rektor PTN sejawa Timur di Universitas Trunojoyo Bangkalan, dihibur dengan tarian, di antaranya disebut tari kerrapen sapeh. Baru pertama kali itu, saya menyaksikan tarian itu. Penarinya, menurut penjelasan Rektornya, Prof.Dr.Ir.Arifin, MS, adalah para mahasiswa dan masiswi kampus itu sendiri. Saya lihat gerak penarinya sangat lincah. Tidak ada beda antara gerakan penari laki-laki dengan penari wanita. Semua gerakan-gerakan yang sangat gesit, lincah, dan serba keras. Semua gerak itu mengikuti bunyi gamelan yang dimainkan oleh beberapa orang lainnya dari luar panggung. Sangat beda antara tarian Jawa dengan tarian Madura. Tarian Jawa, biasa geraknya lebih pelan, lamban, dan lembut. Apalagi, penari perempuan, biasanya lebih pelan dan halus lagi. Dari langkah satu ke langkah berikutnya, tarian Jawa serba halus, yang bisa jadi, bagi orang yang tidak terbiasa menjadi bosan. Penari laki-laki dan wanita geraknya sangat beda. Penari laki-laki agak keras, sekalipun tidak sekeras tarian Madura. Tari kerrapen sappe dimainkan oleh banyak orang. Penarinya anak-anak remaja, tujuh orang di antaranya perempuan, ditambah tiga orang laki-laki seumur. Sebanyak itu, masih ditambah penari lainnya, berjumlah empat orang anak-anak berusia kurang dari sepuluh tahun. Rupanya ke empat penari perempuan yang masih kecil-kecil itu untuk menggambarkan dua pasang kerapan sapi. Dan itulah kira-kira, maka tarian itu disebut dengan istilah kerrapen sapeh. Tarian kerrapen sappe dimulai dari tampilnya kelima penari wanita. Secara jujur, saya belum begitu bisa merasakan indahnya tarian itu secara keseluruhan. Mungkin, karena baru pertama kali menyaksikannya. Hal baru dari tarian itu yang saya anggap indah, ialah gerak-gerik tariannya yang cepat, serentak, dan kompak. Hal itulah yang saya rasakan indah. Pada saat penari wanita masih di panggung, kemudian disusul oleh penari laki-laki berjumlah tiga orang. Panggung yang tidak terlalu luas itu, digunakan untuk menari sepuluh orang, sehingga tampak kurang leluasa. Sekali lagi, kekompakan dari seluruh pemain itu rupanya merupakan hasil latihan yang sangat matang. Tidak lama kemudian, tempat yang sudah penuh tersbut, masih ditambah lagi oleh penari anak-anak kecil yang menggambarkan pasangan kerrapen sappe itu. Saya tidak tahu persis alur cerita tarian itu. Tetapi di akhir pentas itu, ketiga penari laki-laki, tidak menari lagi, tetapi saling menyerang dan memperebutkan celurit. Di antara ketiganya saling membanting secara bergantian, memperebutkan senjata tradisional itu. Saya lihat, tarian itu menyerupai permainan silat. Benar-benar bersilat. Sedangkan para wanita dan ke empat anak kecil lainnya, dengan mengambil posisi di bagian pinggir panggung, tetap menari. Di babak akhir dari pertunjukkan itu, yang saya lihat adalah seperti percampuran antara tarian dan silat. Sekalipun bercampur dengan tarian, silat yang dimainkan oleh tiga remaja tersebut, bagi saya sudah mengerikan, sangat keras, berebut senjata clurit. Menyaksikan adegan itu, sesungguhnya saya khawatir, jangan-jangan akan terjadi kekeliruan yang dilakukan oleh salah seorang pemainnya, sehingga tanpa disengaja, celurit yang tampak tajam, berwarna putih mengkilat mengenai salah seorang pemainnya. Rasa khawatir itu menjadikan saya, seolah-olah tidak melihat sebuah tarian, melainkan terasa sedang menyaksikan permainan silat yang keras. Bahkan semakin lama semakin keras, sehingga sampai pada titik klimaknya. Di akhir permainan silat itu, ketika secara bersama-sama ketiganya berhasil memegang tangkai clurit yang dimainkan, maka seolah-olah kemudian mereka telah memiliki kekuatan seimbang. Segera setelah itu, mereka sama-sama melepas tangkai clurit itu dan kemudian ketiganya saling berangkulan dengan sangat akrabnya. Menyaksikan permainan, berupa tarian bercampur silat yang keras, namun diakhiri dengan saling berpelukan mesra itu, maka membawa ingatan saya pada persoalan Bank Century yang akhir-akhir ini permainannya juga semakin keras. Saya kemudian membayangkan, dan juga sekaligus berdo’a, semogalah penyelesaian kasus Bank Century tersebut, berakhir sebagaimana tarian Kerrapen Sapeh di Universitas Trunojoyo Bangkalan itu. Mereka saling mengakhiri perdebatan dan juga saling berhenti dari tuduh menuduh, kemudian berganti saling berangkulan mesra. Hal itu mereka lakukan, karena tokh semua sama-sama berjuang demi rakyat, —–sebagaimana penari karrapen sapeh, untuk menghibur penonton. Maka untuk apa, berkeras-keras dan harus memutus silaturrahmi segala ? Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share