Tiga Orientasi Pendidikan

Dalam diskusi informal dengan beberapa rector PTN, membicarakan tentang gejala semakin melemahnya karakter bangsa. Gejala itu bisa dilihat secara jelas dari berbagai fenomena, di antaranya sebagai berikut. Pertama, pilihan-pilihan hidup pragmatisme semakin menggejala. Misalnya, mereka belajar hanya tatkala menjelang ujian, agar lulus, dan kemudian mendapatkan kerja dengan gaji cukup. Kedua, tidak segera percaya dan bahkan bersemangat melawan dengan cara-cara yang tidak santun tatkala mereka dihadapkan perubahan. Demonstrasi dengan mengabaikan tatakrama, sopan santun, dan sebaliknya menghujat, mencaci maki, dengan kata-kata kasar. Ketiga, bergaya hidup hedonis, atau mengejar kesenangan hidup tanpa harus bekerja keras. Keempat, miskin idealisme, tampak dari rendahnya semangat perjuangan untuk keadilan, kejujuran, dan kebersamaan. Tentu gejala semacam itu dirasa menggelisahkan. Kampus yang semakin mendapatkan tantangan untuk mengembangkan akademik, agar mampu bersaing dengan dunia yang lebih luas, seringkali terhambat oleh adanya gejala seperti itu. Para pimpinan perguruan tinggi yang ikut terlibat dalam diskusi itu merasakan suasana yang sama. Energy yang semestinya digunakan untuk mencari peluang-peluang, terobosan, strategi baru agar pertumbuhan kampus semakin cepat, ternyata terganggu oleh hal-hal yang tidak perlu terjadi itu. Mengatasi hal tersebut, saya memberikan alternative sederhana. Para siswa atau Mahasiswa harus diberikan sentuhan-sentuhan nilai yang mendasar, agar tumbuh sikap obyektif, jiwa patriotisme atau semangat untuk berjuang, berbuat baik dan membela kebenaran. Munculnya gejala yang dipandang negative tersebut, menurut hemat saya, hanyalah sebagai ekses atau dampak dari semakin terbukanya ruang-ruang kehidupan yang tidak mungkin lagi dicegah. Jalan yang paling tepat adalah membekali mereka dengan nilai-nilai kebenaran dan idealisme yang tinggi. Dalam kesempatan itu, saya menawarkan konsep sederhana itu, bahwa melalui lembaga pendidikan para siswa atau mahasiswa didekatkan pada tiga orientasi, yaitu didekatkan dengan kitab suci, tempat-tempat ibadah, dan juga didekatkan dengan para ilmuan. Konsep ini bisa dikembangkan untuk semua agama yang ada. Namun khususnya dalam Islam, orientasi itu dikemas menjadi lebih spesifik, yaitu para siswa dan mahasiswa didekatkan dengan al Qur’an, masjid, dan ulama’. Pendidikan harus mampu mendekatkan bagi para peserta didik pada ketiga hal tersebut. Sebenarnya selama ini, ketiga hal itu telah dipercaya sebagai instrumen penting yang seharusnya dikembangkan dalam pendidikan. Tetapi pada kenyataannya belum dijadikan tema besar dalam upaya membangun karakter anak-anak dan generasi muda bangsa ini. Padahal jika konsep itu dijalankan, sebenarnya telah memiliki dasar legalitas yang kokoh, yakni sebagai upaya untuk membangun generasi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Saya ketika itu menjelaskan bahwa dengan kitab suci, maka para siswa, mahasiswa, atau generasi muda akan diperkenalkan dengan kalimat-kalimat suci, yang diyakini datang dari Dzat Yang Maha Pencipta. Kalimat-kalimat yang ada dalam kitab suci itu, bukan saja berisi petunjuk atau penjelas tentang dirinya (manusia), alam, dan juga Tuhannya, tetapi juga sekaligus memiliki nuansa spiritual yang diperlukan dalam kehidupan bagi siapapun. Para peserta didik didekatkan dengan tempat ibadah, dengan maksud agar terbangun suasana sipirual, karakter atau akhlak, semangat beramal, kebersamaan dan persaudaraan melalui tempat suci yang terpilih itu. Berada dan beribadah di tempat itu akan melahirkan kesadaran diri, membangun komunikasi, baik secara horizontal sesama manusia maupun secara vertical dengan Tuhannya, sebagai cara yang tepat untuk membangun kehidupan yang terbaik. Demikian pula, tatkala para siswa dan mahasiswa didekatkan dengan para ilmuwan atau ulama’, maka akan melahirkan generasi yang menyukai ilmu pengetahuan, temuan-temuan baru secara terus menerus tentang rahasia alam dan social, hingga diperoleh kepuasan tersendiri. Selama ini yang justru muncul dan tumbuh adalah suasana ideologis dan bahkan akhir-akhir ini adalah budaya materialistic yang berkelebihan. Sebenarnya, baik ideologis maupun materi keduanya adalah penting dalam kehidupan ini. Tetapi semestinya tidak boleh melampaui batas, hingga mengalahkan kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Sebab, ilmu pengetahuan di mana dan kapan pun akan selalu menjadi kunci kemajuan dan bahkan peradaban bangsa. Sebaliknya idiologis dan juga jiwa materialis, biasanya hanya mengantarkan seseorang pada wilayah-wilayah pemenuhan kebutuhan emosional dan bersifat sementara. Jika generasi ini, —–seperti yang saya katakana di muka, selalu dekat dengan kitab suci, tempat ibadah, dan juga dekat dengan para ilmuwan atau ulama’, maka mereka akan menyandang idealisme yang tingggi hingga lahir karakter yang tinggi pula. Aspek-aspek lain akan ikut terbangun jika ketiga hal tersebut berhasil ditanamkan melalui pendidikan ini. Saya yakin, bahwa betapapun kerasnya tantangan yang ada, jika lembaga pendidikan selalu berorientasi mendekatkan para siswa atau mahasiswanya dengan ketiga hal tersebut, —–kitab suci, tempat ibadah, dan cendekiawan atau ulama’, maka ke depan akan berhasil dilahirkan generasi yang berkarakter unggul. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share