Thursday, 20 March 2025
above article banner area

Ulah Arifinto Menampar Wajah DPR

Di tengah pro dan kontra pembangunan gedung baru  DPR senilai  Rp. 1, 138 triliun dengan alasan untuk meningkatkan kinerja anggota Dewan dan akhirnya menuai protes dari banyak kalangan, bahkan Presiden SBY sendiri meminta pembangunan gedung tersebut sebaiknya ditunda,  tiba-tiba kita dikejutkan dengan berita yang sangat memalukan dari salah seorang anggota DPR bernama Arifinto. Selama ini nama Arifinto tidak begitu dikenal publik, karena sebagai anggota Dewan yang kiprahnya biasa-biasa saja. Dia tidak sepopuler kader Partai Demokrat Ruhut Sitompul, kader Golkar Priyo Budi Santoso, kader PDIP Gayus Lumbunn, Pramono Anung dan seterusnya. Anggota Dewan yang terhormat itu  tertangkap basah  sedang menikmati video  porno  lewat telepon selulernya di saat sidang paripurna, Jum’at, 8 April 2011, berlangsung. Sidang yang mestinya dia ikuti secara serius untuk kepentingan rakyat malah dipakai mainan melihat gambar mesum. Karena tertangkap basah, Arifinto tidak bisa berkutik. Celakanya, Arifinto merupakan anggota DPR dari kader PKS, yang notabene sebagai Partai Islam yang selama ini  mengedepankan nilai-nilai moral agama Islam dan akhlak dalam perjuangan politiknya. PKS mendeklarasikan diri sebagai partai bersih dan peduli dengan berbagai penyelewengan dan ketidakjujuran, seperti korupsi, nepotisme, kolusi, dan moralitas. Pada awal kemunculannya, PKS tiba-tiba melesat  dan masuk dalam jajaran 10 partai politik besar di Indonesia. Kehadiran PKS saat itu sangat tepat di tengah-tengah kerinduan masyarakat luas akan tatanan politik yang bersih karena sudah sekian lama hidup dalam tatanan yang kotor dan memuakkan. Tetapi akhir-akhir ini sejak PKS sering tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah yang dikuasai Partai Demokrat, PKS kesandung batu politik, diawali dengan salah satu kadernya, Masbukhin,  yang sudah dijatuhi hukuman penjara karena persoalan pidana, dan sekarang salah satu kadernya lagi, Arifinto.  Ulah kedua kader PKS tersebut bagaimanapun mencoreng muka PKS sebagai partai berbasis moral religius. Merasa bertanggungjawab atas ulahnya, Arifinto akhirnya mengundurkan diri dari keanggotannya di DPR. Banyak yang memberikan apresiasi atas keputusan tersebut sebagai sikap kesatria, dan diharapkan menjadi tradisi baru dalam politik di Tanah Air, yakni mengundurkan diri ketika pejabat publik diketahui melakukan tindakan amoral. Sebab, selama ini amat jarang pejabat publik mengundurkan diri walau terbukti bersalah. Belum ada budaya ‘mengundurkan diri’ sebagai bentuk pertanggungjawaban. Malah ada yang beranggapan bahwa mengundurkan diri dianggap sebagai sikap tidak bertanggung jawab. Saya ingat ungkapan Jawa  yang diucapkan Pak Harto di masa akhir-akhir kekuasaannya ketika suara-suara yang mendesak beliau mundur mulai muncul, beliau mengatakan “tinggal gelanggang acolong playu”. Artinya, lari dari tanggung jawab. Dengan ungkapan itu, Pak Harto tidak mau meninggalkan tanggung jawabnya sebagai presiden di tengah-tengah negaranya dihantam krisis saat itu. Persoalannya adalah kendati Arifinto telah menyatakan mundur dari DPR tidak berarti masalahnya berhenti. Reaksi publik bermunculan, bisa dilihat pada berita di media cetak dan elektronik sejak kasus Arifinto muncul.  Karena peristiwa yang dilakukan Arifinto terjadi di gedung DPR dan saat sidang paripurna, maka tindakan Arifinto tersebut juga menampar DPR sebagai lembaga tinggi negara. Seorang kawan berseloroh bahwa yang seperti Arifinto itu banyak. Arifinto lagi ‘apes’ saja. Jika asumsi kawan saya itu benar, maka sungguh celaka bangsa ini. Bagaimana tidak! Anggota DPR terhormat itu dipilih lewat pemilhan umum secara  demokratis dari sekian banyak pilihan. Mereka bukan orang sembarangan. Mereka pasti tokoh yang dikenal oleh konstituennya. Perjalanan hingga di Senayan tentu bukan pekerjaan gampang. Dari 237 juta lebih penduduk Indonesia, hanya 550 orang yang berhak menempati gedung DPR sebagai wakil rakyat. Di tangan mereka tertumpu harapan berpuluh-puluh juta rakyat yang diwakili, berupa produk hukum yang dapat melindungi dan mensejahterakan mereka. Jika selama ini ada kritik dari banyak pihak mengenai moralitas dan rendahnya kinerja DPR, barangkali lewat ulah Arifinto sinyalemen itu terjawab. Terkait rendahnya kinerja itu, Ketua DPR Marzuki Alie begitu ngotot ingin membangun gedung baru DPR dengan nilai sebegitu besar. Konon uang sebesar itu cukup untuk membangun 32. 000 sekolah baru. Mana yang lebih bermanfaat bagi pembangunan bangsa antara membangun gedung baru  DPR dan membangun sekolah sebanyak itu. Saya tidak mengerti logika apa yang dipakai oleh sang Ketua DPR itu bahwa pembangunan gedung baru merupakan jawaban untuk meningkatkan kinerja. Kalaupun ada korelasi antara fasilitas dengan kinerja, maka korelasi itu tidak seberapa signifikan. Sebab, kinerja menyangkut perilaku dan kesadaran emosi. Mungkin yang sangat tepat untuk meningkatkan kinerja anggota DPR kita saat  ini adalah penyadaran secara intensif  mengenai posisi dan peran yang harus mereka lakukan sebagai wakil rakyat. Sikap ngotot Marzuki Alie menimbulkan tanda tanya besar. Himbauan untuk menunda pembangunan gedung DPR dari Presiden SBY yang tidak lain adalah Pembina Partai Demokrat di mana Marzuki Alie bernaung tidak dihiraukan. Sepertinya, sebagai ketua wakil rakyat, Marzuki Alie sudah tidak menggubris suara rakyat yang diwakilinya. Karena itu, wajar jika publik bertanya ada apa di balik sikap  tersebut. Menyikapi ulah anggota DPR akhir-akhir ini, banyak yang berkomentar miring terhadap keberadaan wakil rakyat itu. Sebenarnya Arifinto bukan satu-satunya wakil rakyat yang melakukan tindakan amoral, Sebelumnya, kader Golkar Yahya Zaini malah melakukan perbuatan amoral yang lebih fatal. Ada juga wakil rakyat yang tertangkap media sedang berenang dengan perempuan yang bukan istrinya, pergi ke tempat-tempat praktik pelacuran, hingga sempat terdengar DPR sedang menggodok kode etik  yang melarang anggota DPR mengunjungi tempat-tempat maksiat. Bebarapa waktu lalu malah ada anggota DPRD di sebuah kabupaten tertangkap basah ketika sedang mesum dengan perempuan penghibur di sebuah hotel. Konyolnya lagi yang bersangkutan berasal dari partai politik partai politik berbasis agama. Ada lagi cerita yang lebih tragis yang saya peroleh dari salah seorang staf KBRI kita di sebuah negara di Eropa. Kata staf itu ada rombongan kunjungan anggota DPR yang meminta untuk diantar ke tempat prostitusi terbesar di negara  tersebut. Ketika ditanya untuk apa mengunjungi tempat itu, dia dengan entheng menjawab untuk ‘hiburan’. Staf bagian transportasi yang bertugas mengantarkan dan menjemput tamu jika ada kunjungan ke KBRI itu tidak berkata apa-apa. Cerita itu bisa saja benar bisa juga tidak. Tetapi lepas dari itu, saya terperanjat mendengarnya. Dalam hati saya berpikir jika itu benar, maka betapa rendahnya moralitas wakil rakyat yang bertugas menentukan besaran anggaran belanja negara dan mengesahkan undang-undang itu. Pantas saja negara kita ini kacau balau, karena para pemimpinnya tidak amanah. Tentu tidak semua anggota DPR seperti Yahya Zaini, Arifinto, dan Abdul Mu’is. Masih banyak yang baik dan senantiasa menjaga moral dan amanah yang diamanatkan kepadanya dan serius menjalankan fungsi legislasi. Tetapi tindakan amoral segelintir anggota bagaimana pun telah menampar wajah DPR secara kelembagaan. Pepatah ‘nila setitik, rusak susu sebelanga’ tampaknya relevan untuk menggambarkan dampak ulah segelintir anggota DPR terhadap lembaga wakil rakyat yang terhormat itu. Lembaga Perwakilan Rakyat mutlak diperlukan sebagai salah satu penyangga sistem demokrasi yang sedang kita bangun. Tetapi, kita semua menginginkan lembaga DPR yang bersih dan berwibawa dan menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Lembaga DPR jangan dikotori oleh ulah anggotanya sendiri. Arifinto memang telah keluar dari DPR dan mungkin sudah lepas dari kejaran wartawan yang ingin konfirmasi mengenai ulahnya. Tetapi label sosial yang melekat pada dirinya sebagai anggota Dewan yang harus hengkang dari lembaga wakil rakyat karena perilaku tidak senonoh  pada saat sidang tidak begitu saja mudah di hapus sepanjang hidupnya. Arifinto tinggal meratapi nasibnya bersama keluarganya:  dihujat publik di mana-mana dan orang tidak akan lagi percaya pada apa yang disampaikan.  Hendaknya kejadian yang menimpa Arifinto menjadi pelajaran berharga tidak saja bagi anggota DPR di Senayan, tetapi juga kita semua untuk selalu hati-hati dalam menjalankan roda kehidupan. __________ Malang, 13 April 2011

Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo

Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *