Tuesday, 21 May 2024
above article banner area

Khilaf Shalat Jum’at Muhammadiyah – NU

Shalat Jum’at

Shalat  jum‘at  adalah ibadah fardhu ‗ain bagi  laki-laki yang mukallaf, tak ada ikhtilaf di titik ini. Perbedaan di kalangan ulama fiqih baru muncul pada tata cara pelaksanaannya. Kita tidak tentu tidak terkejut ketika shalat Jumat di kampung orang lain, yang mana cara pelaksanaannya berbeda dengan shalat jumat di kampung kita. Dan kita tak perlulah terburu-buru menganggap bahwa shalat  Jumat  di kampung ―B‖ salah,  penuh bid‘ah,  atau  telah  keluar dari  syariat, hanya karena berbeda pelaksanaannya dengan yang biasa kita lakukan.
Muhammadiyah dan NU, sebagai organisasi Islam yang memiliki massa

terbesar di Indonesia, memiki pendapat yang berbeda dalam hal tata cara pelaksanaan shalat Jumat. Perbedaan tersebut, antara lain terletak pada pertanyaan,  apakah adzan Jumat dilakukan satu kali  atau dua  kali? Apakah dalam shalat jumat perlu adanya shalat qobliyah? Apakah petugas khotib perlu menggunakan tombak sewaktu khotbah?
Ringkasan pada bab ini adalah, sebagai berikut:

a.   Dalam masalah adzan Jumat, Muhammadiyah berpendapat bahwa adzan Jumat   hanya   satu   kali   yakni   setelah   khatib   naik   ke   mimbar   dan menguapkan  salam.   Sementara  NU  berpendapat  bahwa adzan  Jum‘at dilakukan dua kali, sebelum khatib naik mimbar, dan setelah khatib naik mimbar dan mengucapkan salam.
b.  NU    berpendapat    bahwa    shalat    qabliyah    Jumat    adalah    sunnah,

sebagaimana  shalat qabliyah dhuhur, sementara  Muhammadiyah tidak menganggapnya bagian dari sunnah.
c.   Petugas Khotib di masjid-masjid NU biasanya memegang tombak ketika khotbah, bagi Muhammadiyah itu tidak perlu.

Memang,  kita  tidak bisa  seketika  menyimpulkan;  misal jika di  sebuah masjid adzan shalat Jumat dilakukan dua kali berarti masjid tersebut di kuasai warga NU,  dan  sebaliknya, jika adzan Jumat  cuma  satu  kali  berarti ―dikuasai‖
 
warga Muhamamdiyah. NU dan Muhammadiyah hanya mengeluarkan fatwa, dengan harapan bisa dijadikan rujukan bagi kaum Muslimin, khususnya bagi kelompoknya. Fatwa-fatwa tersebut akan kami jabarkan satu persatu, bukan dengan maksud untuk mengotak-kotakkan. Melainkan agar kita semakin dapat memahami perbedaan pendapat seputar pelaksanaan shalat Jumat.

1.   Muhammadiyah

a.   Adzan Jumat

Dalam    Himpunan    Putusan    Tarjih    (HPT)    Muhammadiyah    tidak diterangkan secara rinci mengenai cara penyelanggaraan shalat Jumat. Demikian pula mengenai pendapat di sekitar shalat Jumat, seperti mengenai berapa kali adzan, cara penyampain khutbah, maupun bab shalat qabliyah Jumat.
Dalam  memutuskan  kapan  adzan  dimuai  dalam  shalat  jumat,  tarjih

menyatakan: ―Apabila Imam  telah  duduk di atas  mimbar, maka  adzanlah salah seorang    dari   kamu   dan    apabila   Imam   telah    turun    dari    mimbar    maka berqamatlah.‖
Dasar dari tuntunan di atas, sebagaimana terdapat dalam HPT adalah

hadis dari Syaib bin Yazid yang artinya:

“Karena hadis riwayat Bukhari, Nasai dan Abu  dawud dari Saib bin Yazid r.a, yang  berkata:  “Adapun  seruan pada hari Jum‟ah  itu  pertama (adzan) tatkala Imam duduk di atas mimbar, pada masa Rasulullah SAW, pada masa Khalifah Abu Bakar r.a, pada masa Khalifah Umar r.a, setelah tiba masa Khalifah Utsman r.a, dan orang semakin banyak maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura (nama tempat di pasar) yang mana pada masa Nabi Saw hanya ada seorang Muadzain.”
Tarjih Muhammadiyah mengaku mengikuti apa yang telah berlaku pada masa Rasululah saw. Jadi, apa yang dilakukan oleh Khalifah Utsman tidak dilanjutkan atau ditiru oleh Muhammadiyah.
Perlu kami singgung lagi, bahwa HPT Muhammadiyah tidak memberi keterangan yang lebih jauh berkait pengambilan hukum ini. Namun, penulis
 
perlu    menambahkan    alasan-alasan    Ulama    lain    yang    sependapat    dengan

Muhammadiyah berkaitan masalah adzan Jumat.

Bahwa Khalifah Utsman menambahkan adzan pertama karena suatu alasan yang masuk akal, yakni pada masa itu kaum Muslimin semakin banyak jumplahnya dan tempat-tempat mereka berjauhan dari Masjid Nabawi. Beliau hanya ingin menyampaikan kepada mereka (kaum Muslimin) tentang masuknya waktu  shalat,  dengan  mengqiyaskan  shalat-shalat  lainnya.  Oleh  karena  itu, beliau  memasukkan shalat   Jum‘at  ke  dalamnya dan  menetapkan kekhususan
Jum‘at dengan adzan di depan khatib.

Syaikh al-Albani dalam al-Ajwibah an-Nafi‟ah berpendapat bahwa kondisi sekarang dianggap sudah tidak memerlukan adzan tambahan sebelum khatib naik mimbar. Hampir tidak ada seorang pun yang berjalan beberapa langkah, melainkan pasti  mendengar adzan Jum‘at  dari  menara-menara masjid. Apalagi alat-alat pengeras suara telah dipasang di menara-menara tersebut, jam-jam penunjuk waktu dan selainnya telah tersebar di mana-mana.
Ada pula yang berpendapat bahwa, melakukan adzan Jumat sama seperti

yang dilakukan oleh Utsman r.a. sekarang ini termasuk di dalam tashiilul haashil (berusaha mewujudkan sesuatu yang sudah ada) dan ini tidak boleh, terutama masalah ini mengandung unsur tambahan atas sunnah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. tanpa alasan yang membenarkannya.
Pendapat tersebut mencoba dikuatkan dengan mencermati lagi sejarah, di mana   ‗Ali bin  Abi  Thalib  r.a ketika  berada di  Kuffah merasa  cukup  dengan sunnah Rasulullah saw tidak  melakukan seperti yang  dilakukan oleh  ‗Utsman r.a., hal ini seperti yang diungkap di dalam Tafsir al-Qurthubi.

b.  Shalat Qabliyah Jumat

Dalam    HPT    Muhammadiyah    tidak    terdapat    pembahasan    khusus mengenai Shalat qabliyah Jumat. Namun demikian, pendapat Tarjih berkaitan dengan adzan Jumat secara langsung membuat konsekwensi terahadap masalah shalat qabliyah Jumat.
 
Shalat   qabliyah   adalah   shalat   yang   mengiringi   shalat   wajib   yang dilakukan  setelah  adzan.  Maka,  ketika  adzan  Jumat  cuma  sekali  dan  itu dilakukan ketika khatib berada di atas mimbar, maka shalat qabliyah pun jadi tidak ada. Ini senada dengan putusan Tarjih Muhammadiyah yang menyatakan bahwa:  khusus  shalat  tathawwu‟  pada  hari   Jumat   jumrah  raka‘atnya  tidak terbatas, sehingga dapat dikerjakan begitu berada di dalam masjid sesudah tahiyatul Masjid hingga datang Imam shalat, (yang mana Imam tersebut akan bersalam dan duduk, kemudian adzan dilakukan).
Sementara  untuk  shalat sunnah sesudah shalat Jumat dapat dilakukan dengan dua  atau  empat Raka‘at.  Yang dimaksud Shalat  tathawwu‟ di sini adalah shalat sunnah tahiyatal masjid dan shalat sunnah selain qabliyah Jumat. karena shalat sunnah qabliyah dilangsungkan setelah adzan.
Pendapat Tarjih sejalan dengan pendapat Imam Malik, dan sebagian penganut   Hanabilah    dalam    riwayat   yang    masyhur.    Adapun    Dalil    yang menerangkan tidak dianjurkannya shalat sunnat qabliyah Jum’at adalah sebagai berikut:

Hadist dari Saib Bin Yazid: “Pada awalnya, adzan Jum’at dilakukan pada saat imam berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi SAW, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Ustman menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkan iqamat), menurut riwayat Imam Bukhori menambah adzan menjadi dua kali (tanpa memasukkan iqamat). (H.R. riwayat Jama’ah kecuali Imam Muslim).

Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat, “Ketika Nabi keluar dari  rumahnya  langsung  naik  mimbar  kemudian  Bilal  mengumandangkan adzan. Setelah adzan selesai Nabi SAW langsung berkhutbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan  khutbah, lantas  kapan Nabi  SAW  dan  jama‘ah  itu melaksanakan shalat  sunnat qabliyah Jum’at?‖
Demikianlah hujjah dari Muhammadiyah tentang tidak adanya shalat qabliyah Jumat.
 

2.   Nahdhatul Ulama a.   Adzan Jumat
Sebagaimana  sudah  disinggung  di  muka,  bahwa  NU  berpendapat sunnah hukumnya adzan Jumat dilakukan dua kali. Pendapat ini tentu tidak asal-asalan muncul, melainkan ada hujjah dan dalil yang mendasarinya.
NU sepakat bahwa di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin

Khathab mengumandangkan adzan untuk shalat  Jum‘at  hanya dilakukan sekali saja. Penambahan adzan Jumat kemudian dilakukan di zaman Khalifah Utsman bin  Affan  r.a.  sebelum  khatib  naik  ke  atas  mimbar,  sehingga adzan  Jum‘at menjadi dua kali.
KH. Cholil Nafis, salah seorang pembesar NU yang mengurusi Lembaga

Bahtsul Masail, menyadari bahwa apa yang dilalukan Khalifah Utsman r.a. dikarenakan melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa shalat Jum’at hendak dilaksanakan. Apa yang dilakukan Khalifah tersebut, menurut NU masih dianggap relevan sampai sekarang.
Untuk menguatkan pendapatnya, Cholil Nafis mengutip kitab Shahih al-

Bukhari, di sana dijelaskan:

Dari Sa’ib ia berkata, “Saya mendengar dari Sa’ib bin Yazid, beliau berkata, “Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW,  Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura’ (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)”. (Shahih al-Bukhari)
 
Pendapat  NU  tentang  sunnahnya  dua  adzan  pada  shalat  Jumat  juga sejalan dengan pendapat Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath al- Mu’in, yang mengatakan:
“Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat Shubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan  setelah  fajar.  Dan  sunnah  dua  adzan  untuk  shalat  Jum’at.  Salah satunya  setelah khatib  naik  ke  mimbar dan yang  lain sebelumnya”. (Fath  al- Mu’in: 15)
NU  menganggap  bahwa  ijtihad  Utsman  sebagai   ijma‟ sukuti,   yaitu kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Ijma‟ sukuti  dianggap memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma’ para sahabat. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab al-Mawahib al Laduniyah sebagaimana juga dikutip oleh Cholil Nafis sebagai berikut:
“Sesungguhnya   apa   yang   dilakukan   oleh   Sayyidina   Ustman   ra.   itu

merupakan ijma’ sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah,  juz II,: 249).

Dalam menjawab apakah pengambilan hukum tersebut tidak mengubah sunah Rasul? Dengan tegas NY menyatakan tidak! Kenapa tidak? Karena mengikuti Utsman bin Affan r.a. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Sebab Rasulullah saw telah bersabda yang artinya:
“Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-

Khulafa’ al-Rasyidun sesudah aku “. (Musnad Ahmad bin Hanbal)

Pendapat  lain  yang  sejalan  dengan  fiqh  NU  perihal  adzan  dua  kali sebelum shalat Jumat beralasan bahwa tambahan satu kali adzan meskipun tidak diperintahkan,  tetapi  juga  tidak  dilarang.  Karena  perbuatan  itu  ada  yang dilarang, ada yang diperintahkan dan ada pula yang tidak dilarang dan juga tidak diperintahkan. Adzan Jumat dua kali memang perbuatan yang tidak diperintahkan,
 
tetapi juga tidak dilarang, dan mengandung unsur maslahah, selain juga dianggap

ijma‟ sukuti.

b.  Shalat Qabliyah Jumat

Dalam  masalah  shalat  qabliyah  Jumat  NU  pendapat  bahwa  shalat qabliyah Jumat adalah sunnah hukumnya, dikarenakan dalilnya lebih rajih (unggul). Pendapat ini sejalan dengan Imam Abu Hanifah, Syafi’iyyah (menurut pendapat yang dalilnya lebih tegas) dan pendapat Hambaliah dalam riwayat yang tidak masyhur, demikian Cholil Nafis.
Adapun  dalil  yang  dipakai  untuk  menyatakan  dianjurkannya  sholat

sunnah qabliyah Jum’at adalah hadist Rasulullah SAW yang artinya:

“Semua  shalat fardlu itu  pasti diikuti  oleh shalat sunnat  qabliyah dua raka‟at”. (HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shohih dari hadist Abdullah Bin Zubair).

Dari hadist di atas maka dapat dimengerti bahwa semua shalat fardhu, termasuk shalat Jumat terdapat shalat sunnah qabliyah.
Selain hadist di atas juga ada hadist Rasulullah saw lainnya, yang artinya:

Diriwayatkan  dari  Abi  Hurairah  r.a.  berkata:  Sulayk  al-Ghathafani  datang  (ke masjid), sedangkan Rasulullah saw sedang berkhuthbah. Lalu Nabi SAW bertanya: Apakah kamu sudah shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi SAW  bersabda: Shalatlah dua raka‟at  dan ringankan saja (jangan membaca surat panjang-panjang)‖ (Sunan Ibn Majah).

Berdasar dalil-dalil tersebut, Imam an-Nawawi menegaskan dalam kitab al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzdzab: ―Disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum‟at.  Paling sedikit dua raka‟at  sebelum dan sesudah shalat jum‟at.  Namun yang paling sempurna adalah shalat sunnah empat raka‟at sebelum dan sesudah shalat Jum‟at‖. (Al Majmu‟, Juz 4: 9)
 

c.   Memegang Tongkat pada Saat Khutbah

Tarjih Muhammadiyah tidak membahas permasalahan apakah ketika khatbah, khatib membawa tombak atau benda-benda lain di atas mimbar atau tidak?  Dalam  HPT hanya dinyatakan: ―Sebelum shalat  hendaklah Imam berkhutbah dua kali dengan berdiri dan duduk di atantara kedua khutbah itu. Di dalam khutbah Imam supaya membaca ayat al-Qur‘an  dan  memberikan peringatan-peringatan kepada  orang   banyak‖. Tuntunan demikian didasarkan pada pandangan hadist Sumarah r.a. Ibnu Umar, dari Hadist Abu Hurairah, yang artinya:
“Karena hadist riyawat jama‟ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi dari Jabir bin Samurah

r.a. yang berkata: “Adalah Rasulullah berkhutbah sambil berdiri dan duduk di antara dua khutbah, dan membaca beberapa ayat al-Qur‟an dan memberi peringatan kepada orang banyak.”
Sementara itu NU, melalui lembaga Bahtsul Masail sependapat dengan jumhur    ulama    fiqh   yang    mengatakan    bahwa    sunnah    hukumnya    khatib memegang tongkat dengan tangan kirinya pada saat membaca khutbah.
Dalam  masalah ini NU  bermadzhab Syafi‘iyyah,  di mana  di dalam kitab al-Umm  diterangkan:  Imam  Syafi’i  berkata:  “Telah sampai kepada kami  (berita) bahwa ketika Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan,  beliau  berkhutbah  dengan  memegang  tongkat  pendek  dan  anak  panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi’ mengabarkan dari Imam Syafi’i dari Ibrahim, dari Laits dari ‘Atha’, bahwa Rasulullah SAW jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan”. (al-Umm)
Hadist Rasulullah saw, yang artinya:

Dari Syu’aib bin Zuraidj at-Tha’ifi ia berkata ”Kami menghadiri shalat Jum’at pada suatu  tempat  bersama  Rasulullah  SAW.  Maka   Beliau  berdiri  berpegangan  pada sebuah tongkat atau busur”. (Sunan Abi Dawud).
 
Al Gazali dalam Ihya Ulumuddin, juga telah menulis:

Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama’ ah  dengan  wajahnya.  Tidak  boleh  menoleh  ke  kanan  dan  ke  kiri.  Dan  kedua tangannya memegang pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya memegang) mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak begitu) atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang lain”. (Ihya’ ‘Ulum al-Din)

Memegang  tongkat  selama  khotbah  selain merupakan  sunnah  (pernah dilakukan Rasul) juga  dianjurkannya sebagai  cara  untuk  mengikat hati  (agar lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya. Demikian dalam kitab Subulus Salam, juz II, sebagaimana dikutip Cholil Nafis.

below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *