Laporan UNESCO telah menetapkan empat pilar pendidikan sebagai landasan pendidikan era global, yaitu: (1) learning to know, yakni peserta didik mempelajari pengetahuan, (2) learning to do, yakni peserta didik menggunakan pengetahuannya untuk mengembangkan keterampilan, (3) learning to be, yakni peserta didik menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk hidup, dan (4) learning to live together, yakni peserta didik menyadari bahwa adanya saling ketergantungan sehingga diperlukan adanya saling menghargai antara sesama manusia. Laporan itu juga mengatakan bahwa untuk memenuhi tuntutan kehidupan masa depan, pendidikan tradisional yang sangat quantitatively-oriented and knowledge-based tidak lagi relevan. Melalui pendidikan, setiap individu mesti disediakan berbagai kesempatan belajar sepanjang hayat; baik untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap maupun untuk dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang kompleks dan penuh dengan saling ketergantungan.
Tindak lanjut dari landasan pendidikan tersebut adalah munculnya orientasi pada pembentukan kompetensi yang relevan dengan tuntutan dunia nyata. Kompetensi meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Pendidikan tradisional yang sangat berorientasi kuantitatif dan menyandarkan pada pemahaman pengetahuan semata, seperti disebutkan di atas, dianggap tidak dapat membekali peserta didik dengan kompetensi yang diperlukan dalam kehidupan. Dengan demikian, pendidikan yang dikehendaki dewasa ini adalah pendidikan yang berlangsung secara kontekstual. Pendidikan kontekstual dicirikan oleh proses pembelajaran yang diarahkan pada pemecahan masalah, menggunakan konteks yang bervariasi, menghargai keberagaman individu, mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning), menggunakan kelompok belajar secara kooperatif, dan menggunakan asesmen alternatif (Clifford dan Wilson, 2000 dalam Marhaeni, 2007).
ย
Beranjak dari hal tersebut, akhirnya dibutuhkan sebuah instrumen yang bisa menjaring ataupun memberikan informasi tentang kompetensi anak didik secara tepat dan sesuai. Dapat dibayangkan: apakah kompentensi anak didik tentang hal yang bersifat normatif dan praktis dapat dinilai secara pasti hanya dengan menjawab sebuah asesmen tradisional saja (dalam hal ini tes)?. Konkritnya adalah seperti ini: dalam sebuah soal ditanyakan: apa yang akan kamu lakukan jika melihat seorang nenek menyebrang di jalan? pasti jawabannya akan menyeberangkannya (normatif) atau pertanyaan praktis seperti ini: bagaimana caranya berenang dengan menggunakan gaya dada? pastinya anak didik tersebut akan menjawab langkah-langkah praktis seperti yang telah dia baca dibuku. Tapi saat mereka diminta untuk mempraktekkannya langsung, belum tentu mereka akan melakukan hal yang sama benarnya seperti yang telah mereka tuangkan dalam jawaban tertulis (Lussy, 2008).
Dari hasil pengamatan di lapangan (terutama terhadap pembelajaran biologi), proses penilaian yang dilakukan selama ini semata-mata hanya menekankan pada penguasaan konsep yang dijaring dengan tes tertulis obyektif dan subyektif sebagai alat ukurnya. Hal ini didukung oleh penelitian Nuryani, dkk dalam Mulyana (2005) yang mengemukakan bahwa pengujian yang dilakukan selama ini baru mengukur pengusaan materi saja dan itu pun hanya meliputi ranah kognitif tingkat rendah. Keadaan semacam ini merupakan salah satu penyebab guru enggan melakukan kegiatan pembelajaran yang memfokuskan pada pengembangan keterampilan proses pada siswa. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan umumnya hanya terpusat pada penyampaian materi dalam buku teks. Keadaan faktual ini mendorong siswa untuk menghafal pada setiap kali akan diadakan tes harian atau tes hasil belajar. Padahal yang harus diutamakan adalah bagaimana mengembangkan rasa ingin tahu dan daya kritis anak terhadap suatu masalah.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu adanya proses penilaian yang tidak hanya mengukur satu aspek kognitif saja, akan tetapi juga perlu adanya penilaian baru yang bisa mengukur aspek sikap dan proses atau kinerja siswa secara aktual yang dapat mengukur kemampuan hasil belajar peserta didik secara holistik atau keseluruhan. Sehingga diperlukan bentuk asesmen lain yang disebut asesmen alternatif. Asesmen adalah alat yang efektif untuk mengkomunikasikan tujuan dari sistem pendidikan sains yang seluruhnya terfokus pada pendidikan sains.
Kenyataan di lapangan bahwa banyak guru yang masih menggunakan asesmen tradisional daripada asesmen alternatif. Alasannya, pengkonstrukannya sulit dan waktu penskorannya juga memakan waktu yang cukup lama. Namun demikian, asesmen alternatif harus ditegakkan walaupun tidak mudah karena hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi pembelajaran yang terbatas pada tataran teori dan unjuk kerja adalah poin utamanya.
ย
Leave a Reply