REFORMASI SEKOLAH DALAM MEMBANGUN KOMUNITAS BELAJAR

Menurut Kepala Institut Penelitian Pendidikan Prof Dr. Tadahiko Inahaki, sekitar 50 tahun yang lalu yakni setelah kalah perang, ekonomi Jepang sangat buruk. Bangsa Jepang miskin. Untuk bangkit dan memajukannya, yang paling utama adalah meningkatkan pendidikan (kita ingat Kaisar bertanya setelah Jepang di bom oleh Amerika Serikat โ€œAda berapa guru yang masih hidup?โ€). Untuk itu, Pemerintah Jepang mengeluarkan undang-undang untuk meningkatkan pembelajaran IPA di sekolah-sekolah. Konsekuensinya, Pemerintah Jepang harus mengeluarkan anggaran untuk mengadakan peralatan di sekolah. Jadi fasilitas pembelajaran terpenuhi. โ€œApakah guru Jepang memanfaatkan fasilitas tersebut, itu soal lainโ€, kata Inahaki pada pertemuan dengan para peserta counterpart training dari Indonesia. Artinya, kelengkapan peralatan tidak menjamin digunakannya peralatan tersebut oleh gurtu sehingga meningkat pula kualitas pembelajarannya.

Sejak saat itu terjadilah persaingan siswa untuk memasuki sekolah pada jenjang lebih tinggi. Untuk dapat bersaing mengikuti tes dan lulus dengan memuaskan, siswa harus menguasai materi pelajarannya. Maka dalam proses pembelajaran yang dipentingkan adalah hafalan. Jadi meskipun sejak tahun 1952 fasilitas pembelajaran IPA lengkap dan baik, tetapi ternyata guru kurang memanfaatkannya. Bagi guru, yang penting siswanya lulus ujian dengan nilai baik.

Akibat persaingan yang ketat ini maka terdapat anak-anak yang berhasil dan anak-anak yang gagal. Dari anak-anak yang berhasil tidak mampu membuahkan kreativitas, sementara itu anak-anak yang tidak berhasil menjadi frustasi. Di sela-sela himpitan gedung yang menjulang tinggi dan di antara kehidupan masyarakat industri yang terus dipacu oleh kesibukan dan waktu, terdapat anak-anak yang kurang mendapat perhatian, atau terjepit kondisi sosial ekonomi sehingga tidak mampu bersaing dengan yang lain, ditambah dengan persaingan di kelas yang ketat. Anak-anak yang demikian memunculkan berbagai masalah, misalnya kenakalan remaja, perkelahian antar siswa, suka membolos, prestasi sekolah yang rendah dan bahkan ada anak yang bunuh diri. Sekolah yang tidak dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan baik dan prestasi siswanya rendah akibat permasalahan siswanya itu dikenal sebagai sekolah yang runtuh.

Selain runtuhnya sekolah, para lulusan yang berhasil bekerja di sektor industri hanya bekerja berdasarkan instruksi, kehilangan kreativitas. Jadi persaingan dalam pendidikan hanya akan menghasilkan lulusan yang tidak kreatif, sementara yang berprestasi rendah mengalami frustasi. Murase Masatsugu (dosen Universitas Shinsu) mengatakan bahwa pendidikan konvensional di Jepang menghasilkan tenaga kerja yang hanya bekerja sesuai petunjuk, yang hanya cocok untuk produksi massal pada era industrialisasi.

Di Jepang, penurunan kualitas belajar siswa menjadi sorotan masyarakat. Sebagai contoh, berdasarkan hasil survai PISA menunjukkan bahwa hasil belajar siswa Jepang menurun. Hal ini menimbulkan kecaman masyarakat. Untuk mengatasi agar sekolah yang runtuh itu bangkit, dilakukanlah reformasi sekolah dan membentuk komunitas belajar (Learning community).

Share

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *