LINGKUNGAN hidup semakin menjadi primadona akhir-akhir ini. Bahkan kini,
beberapa daerah di Kaltim seakan berlomba-lomba menyajikannya dalam bentuk
kurikulum formal di sekolah-sekolah. Seperti apa seharusnya pendidikan
lingkungan hidup tersebut? Dan mengapa masih disalahkaprahkan? MENGAPA salah
kaprah? Lihat saja, bagaimana kondisi lingkungan di sekitar kita sekarang ini?
Tambah rusak, tambah parah, bahkan pada sebagian tempat sudah mengancam
keselamatan kehidupan manusia.
Mulai dari pencemaran perairan tawar, sampah, penebangan hutan, kebakaran hutan,
longsor, hingga banjir. Untuk itukah pendidikan lingkungan diberikan? Ditambah
lagi sertifikasi Amdal, studi kelayakan lingkungan, dan banyak lagi lainnya?
Ternyata semua sertifikat dan embel-embel lingkungan tersebut tidak berbekas,
tidak berdampak positif (kalau tidak mau bilang berdampak negatif). Tidak
memberikan perubahan kepada perilaku pengelola dan pemanfaat lingkungan itu
sendiri.
Pendidikan lingkungan dan embel-embel lingkungan tersebut, ternyata hanya
pepesan kosong belaka, seperti tong kosong nyaring bunyinya. Lalu dimana
salahnya? Kita salah dalam mendefinisikan pendidikan lingkungan selama ini yang
hanya berbicara dan memberikan teori-teori lingkungan yang diturunkan dari
ilmu-ilmu biologi, kimia, fisika dan sosial belaka. Kita juga hanya berbicara,
tanpa memberikan contoh, atau tidak sama sekali berusaha memberikan atau membuat
dan membangun secara perlahan miniatur, sampel, atau apa saja namanya sebagai
perbandingan.
Kesalahan itu terjadi sudah sejak lama dan masih berlangsung sampai sekarang
ini, serta kemungkinan besar masih akan diteruskan lagi entah sampai kapan.
Kesalahan berikutnya adalah kesalahan dalam mendefinisikan kata lingkungan.
Lihat saja dimana batas dari “lingkungan” yang kemudian di belakangnya
ditambahkan kata “hidup”? Jadilah kata “lingkungan hidup”, sebuah kata yang
mengerikan, karena dengan itu orang segera mengklaim dirinya dapat mengerjakan
segala-galanya.
Lihat saja bagaimana tiap departemen sejak lama selalu saja memiliki divisi
lingkungan hidup, bahkan sampai ke Departemen Dalam Negeri, Departemen Agama,
Diknas juga mungkin? Kesalahan atau kesengajaan mendefinisikan kata “pendidikan”
dan “lingkungan” seperti selama ini telah berdampak sangat luar biasa, yaitu
lingkungan hidup semakin amburadul, sedangkan manusianya secara formal terdidik
sebagai para ahli lingkungan, sementara perilakunya sama sekali tidak
mencerminkan sikap ramah terhadap lingkungan. Makanya jangan heran (apalagi
kalau sampai marah) kalau sebagian orang mengatakan, bahwa orang-orang
lingkungan tersebut sebagai orang-orang yang tidak konsisten, beda antara yang
diucapkan dengan dilakukan. Menyedihkan sekali, memang.
Lalu harus bagaimana? Penjelasan dari semua itu adalah, bahwa orientasi
pendidikan di Indonesia harus diubah kiblatnya dari yang bersifat teoritis
kepada yang bersifat praktis. Sikap dan perilaku ramah lingkungan harus dibentuk
dengan penegakan disiplin dan hukum dengan sistem reward ataupun punishment.
Disiplin dan tertib serta mengutamakan azas prioritas dan efisiensi harus
merupakan dasar dalam pendidikan lingkungan hidup.
Salah kaprah ini terjadi pula pada penerapan pendidikan lingkungan hidup yang
mulai merambah anak-anak usia dini. Bahkan beberapa teman-teman LSM sudah mulai
masuk ke Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Outputnya? Sangat disayangkan
sekali, karena hanya berupa modul pendidikan lingkungan hidup, buku-buku
lingkungan hidup dengan gambar warna-warni yang semuanya itu hanya menambah
beban siswa dan gurunya saja.
Anda tahu ada berapa banyak mata pelajaran di sekolah dasar dengan puluhan buku
tebal-tebal yang harus dikonsumsi oleh para siswa. Padahal, anak sekolah dasar
kelas 1, 2 atau 3 baru belajar tentang bagaimana membaca huruf? Masalah-masalah
lingkungan juga harus dibatasi ruang lingkupnya dan dibagi penanganannya secara
adil dan bijaksana, sehingga semua orang, intansi atau lembaga mengetahui persis
harus berbuat apa, dimana, dan kapan. Pemerintah memiliki otoritas penuh untuk
menegakan hukum dan mengatur pembagian pengelolaan lingkungan hidup secara
efisien dan skala prioritas.
Struktur pemerintahan Indonesia memang agaknya terlalu boros alias tidak efisien
sama sekali. Anda bayangkan ada berapa Departemen yang membawahi sumberdaya alam
dan lingkungan hidup saja dulu? Mulai dari Departemen Kehutanan, Pertanian,
Kelautan, Pertambangan dan Energi, Perkebunan dan Lingkungan Hidup sendiri.
Semuanya kemudian di tingkat provinsi, kabupaten dan kota harus berperang satu
sama lain mempertahankan eksistensinya masing-masing.
Jumlah kantor Dinas Kehutanan saja bisa mencapai 12.000 kantor (30 provinsi x
400 kabupaten dan kota). Belum lagi di dalamnya ada divisi lingkungannya, divisi
pengembangan masyarakat dan lainnya.