Donny Syofyan
Dosen Universitas Andalas
Citra mahasiswa kembali tercoreng. Sportivitas yang menjadi landasan dalam kompetisi sepak bola dicederai oleh tawuran dua kubu sepak bola yang berbeda. Liga Sepakbola Universitas Andalas (Liguna) 2011 yang mempertemukan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dengan Fakultas Peternakan (Faterna) di Lapangan Unand Limau Manis Padang, Rabu (15/6) sore lalu, berakhir rusuh pada Kamis (16/5) dari pagi hingga siang.
Terlepas apakah ini tawuran atau penyerangan, peristiwa “cakak banyak” ini hanya mengukuhkan karakteristik pertandingan sepak bola di Indonesia; kekerasan, tawuran, dan brutalitas. Negara kita punya sejarah panjang dalam dunia persepakbolaan, sayang seringkali setiap pertandingan yang diadakan berakhir dengan brutalitas. Panitia dan pihak keamanan kerap tak berdaya menyelenggarakan acara tanpa dihiasi kekerasan dan campur tangan. Boleh jadi ini semua merupakan ciri-ciri yang inheren dan tak berubah dalam dunia persepakbolaan dan olah raga negeri ini secara umum.
Semua pencinta sepal bola pasti kenal dengan istilah bonek, yang merupakan singkatan bondo nekat, sebutan khusus untuk suporter fanatik pendukung Persebaya, tim bola untuk Surabaya. Istilah itu mengindikasikan bahwa sepak bola di Indonesia lebih mencerminkan regionalisme dan primordialisme daripada profesionalisme. Regionalisme dan lokalisme dipersepsi keliru sebagai patriotisme. Memang sepak bola adalah olah raga yang paling populer di Indonesia. Namun tak semua penggemar oleh raga ini dapat menikmatinya. “Populer” tidak selalu bermakna “mampu”.
Karena pertandingan sepak bola kerap melibatkan gejolak sosial, maka penting untuk memahami fenomena ini dalam lingkup sosial dan psikologi yang lebih luas. Pendukung sepak bola merupakan kerumunan orang-orang yang bersifat temporer dan relatif tidak terorganisir dalam suatu jarak fisik yang dekat. Psikolog sosial mengelompokkan tipe ini sebagai kerumunan konvensional (conventional crowd), di mana para pendukung berkumpul untuk memberikan dukungan kepada tim favorit mereka.
Kerumunan konvensional bisa saja berubah menjadi kerumunan ekspresif (expressive crowd), yang ditandai ketika para pendukung sebuah tim mencapai stasi stimulasi diri dan kepuasan personal, seperti terlihat ketika tim jagoannya memimpin pertandingan. Kelompok terakhir dinamakan kerumunan yang bertindak (acting crowd). Tipe ini tampak ketika pendukung yang bersemangat terlibat dalam prilaku agresif yang terlepas dari norma-norma yang sudah mapan. Tatkala tim jagoannya kalah, pendukung tersebut merasa tidak bernilai dibandingkan kelompok pendukung tim lawan sehingga menjadi agresif.
Ada tiga ciri utama suatu kerumunan, yakni sugestibilitas, deindividualisasi, dan invulnerabilitas. Anggota sebuah kerumunan mudah terpengaruh oleh sugesti (suggestible) dibandingkan orang-orang yang berada dalam lingkungan sosial yang lebih mapan. Dengan kata lain, mereka lebih siap menerima perintah dan arahan yang berasal dari teman-temannya dalam kelompok tersebut. Dalam level ini, emosi jauh lebih kental dan berperan dari rasio.
Deindividualisasi adalah kondisi psikologis berupa redupnya kesadaran diri dan identitas. Seorang anggota kerumunan bukanlah dirinya sendiri. Ia melakukan tindakan asosial yang sebetulnya berseberangan dengan kesadaran dirinya. Rasa memiliki terhadap kelompoknya mengalahkan ciri khas dan keunikan yang dimilikinya. Sementara, invulnerabilitas berarti bahwa anggota suatu kerumunan atau kelompok merasa seolah-olah kebal dari tanggung jawab publik. Ketika berada dalam kerumunan itu, seorang anggota merasa lebih berkuasa dan tak terkalahkan melebihi orang-orang dalam seting sosial yang sarat rutinitas. Tak heran, anggota kelompok ini cenderung melakukan tindakan agresif, berani mengambil resiko, menyombongkan diri, penjarahan, vandalisme, dan mengeluarkan kata-kata tak senonoh dalam masyarakat.
Menjadi pertanyaan, bagaimana kita mengatasi atau meminimalisasi prilaku-prilaku asosial demikian? Setidaknya, ada dua macam kontrol sosial yang bisa dilaksanakan: represi dan pencegahan. Pendekatan pertama—represi—merujuk kepada upaya-upaya untuk menekan serangkaian prilaku asosial kolektif setelah munculnya kejadian. Ini menjadi tanggung jawab perserikatan sepak bola dan pihak keamanan. Hanya saja, pendekatan ini menghapus gejala di permukaan, tapi bukan penyakit itu sendiri.
Pendekatan kedua—pencegahan—adalah usaha-usaha yang sengaja diperbuat untuk mencegah kejadian suatu rangkaian prilaku kolektif dengan mengurangi sumber ketegangan yang ada. Kesejahteraan dan pekerjaan yang layak adalah contoh yang bagus untuk mencegah kerumunan itu terlibat dalam pelbagai prilaku sosial kolektif. Fakta bahwa pertandingan sepakbola sering menampilkan tawuran, vandalisme dan brutalitas menunjukkan bahwa masyarakat kita masih jauh dari kesejahteraan dan pekerjaan yang layak, yang pada gilirannya melahirkan berbagai kemelut dan penyakit sosial.
Pendidikan memegang peranan penting untuk mengatasi tindakan perusakan dalam kompetisi sepak bola kita. Salah satu yang terlupakan di perguruan tinggi adalah kehadiran mata kuliah pendidikan jasmani. Relevansi mata kuliah ini beranjak dari keyakinan bahwa seseoarng tidak bisa berpikir tanpa tubuh. Pendidikan jasmani bertujuan untuk membangun kekuatan organ manusia, kemampuan neuromoskular, prilaku interpersonal yang baik, keseimbangan dan pengendalian emosi, serta pertimbangan yang jelas.
Di antara sekian unsur-unsur di atas, prilaku interpersonal yang baik serta keseimbangan dan pengendalian emosi adalah yang paling lamban mengalami perkembangan di kalangan pemain sepak bola dan pendukungnya. Menurut hemat pakar pendidikan, pendekatan sosiologis dan psikologis amat dibutuhkan guna mengatasi kecenderungan vandalisme dalam dunia persepakbolaan tanah air. Secara ideal, kita perlu mensituasikan pendidikan, termasuk pendidikan jasmani, dalam lingkup budaya yang lebih luas. Pertandingan sepak bola, layaknya musik pop, adalah bagian dari budaya pop, dan karenanya merupakan arus budaya dominan. Prilaku interpersonal yang baik serta keseimbangan dan pengendalian emosi adalah aktivitas mental. Semua ini tak akan bisa dipahami tanpa melibatkan sumber daya dan lingkup budaya.
Prinsip-prinsip psikologi budaya, seperti yang dijelaskan di atas, mensyaratkan bahwa pendidikan anak-anak dan remaja perlunya hal-hal berikut. Pertama, kebudayaan pop merupakan sebuah “kurikulum tersembunyi” (hidden curriculum) yang membentuk kebudayaan peserta didik. Artinya, kurikulum sekolah dan perguruan tinggi perlu terus-menerus direvisi agar mampu bersaing dengan kebudayaan pop.
Kedua, nilai-nilai moral dan sosial yang diajarkan di sekolah atau kampus seperti menghormati orang lain, bertenggang rasa terhadap perbedaan, dan kedisiplinan ternyata rapuh di luar kelas. Dengan begitu, masyarakat perlu menjadi labor uji terhadap nilai-nilai tersebut. Ini sekaligus menyiratkan bahwa sukses-gagalnya pendidikan bukan sepenuhnya tergantung pada guru, tapi juga masyarakat secara keseluruhan.
Ketiga, pendidikan formal seyogianya memainkan peranan penting dalam menjalankan pengawasan sosial. Tawuran pelajar atau mahasiswa, bolos sekolah, perusakan, dan tindak-tanduk agresif lainnya perlu diminimalisasikan lewat kurikulum atau program-program ekstrakurikuler. Sekolah bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan tapi juga membekali kemampuan dan manajemen konflik. Sumber-sumber konflik, semisal perbedaan etnik dan budaya, perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum, khususnya ilmu-ilmu sosial. Perbedaan demikian bukan untuk diperlakukan sebagai monster yang menakutkan tapi sebagai realitas yang harus dijinakkan oleh uji coba kesarjanaan, akademis, dan objektif.
Keempat, pendidikan jasmani, bila dilakukan secara profesional, bukan hanya meningkatkan kebugaran dan ketangkasan fisik saja tapi juga kedisiplinan dan keseimbangan mental. Karenanya, para pendidik perlu menyadari filosofi di balik pendidikan jasmani tersebut.
(Dimuat di harian Padang Ekspres, 28 Juni 2011)