Thursday, 20 March 2025
above article banner area

Bahasa Jawa di dalam Pesawat

Ada hal menarik di dalam pesawat Garuda yang saya tumpangi beberapa menit menjelang mendarat di bandara Internasional Juanda di Surabaya beberapa hari lalu dalam perjalanan pulang dari Jakarta. Seperti biasanya, ketika akan mendarat pilot mengumumkan bahwa pesawat segera mendarat yang didahului dengan mengenalkan namanya. Setelah itu, pilot menyampaikan jam atau waktu setempat serta tidak ada perbedaan waktu antara Surabaya dan Jakarta. Para penumpang diminta tetap duduk tenang, mengencangkan sabuk pengaman, dan tidak menghidupkan telepon genggam sampai pesawat benar-benar berhenti dengan tenang. Kepada penumpang transit diminta keluar dari pesawat untuk melapor ke petugas. Setelah itu, pengumuman dengan isi yang sama disampaikan dalam bahasa Inggris yang sangat bagus dan komunikatif. (Di pesawat yang lain sering kali pengumuman tidak jelas, karena seperti dibaca sehingga tidak komunikatif).

Kejadian menarik itu adalah setelah menyampaikan pengumuman dalam bahasa Indonesia, dilanjutkan dalam bahasa Inggris, pilot menyampaikannya dalam bahasa Jawa kromo. “Poro Bapak/Ibu lan sederek ingkang minulyo. Sugeng rawuh wonten bandara Internasional Juanda ing Suroboyo. Dipun aturi tetep lenggah sak untawis, lan kapurih mboten nggesangaken HP ngantos panjenengan sedanten medal saking pesawat. Mugi pinanggih malih sanes wekdal mawi pesawat Garuda. Nuwun”.   Tentu saja pengumuman yang tidak lazim itu disambut tawa oleh sebagian penumpang,  terutama yang mengerti bahasa Jawa, bahkan ada yang bertepuk tangan. Selama menggunakan jasa angkutan udara, baru kali ini saya mengalami peristiwa seperti ini. Ketika pesawat telah berhenti dan penumpang akan keluar dari pesawat, sang pilot berdiri di dekat pintu pesawat menyambut penumpang. Ketika lewat di depannya, saya bersalaman dan menyampaikan apresiasi saya karena telah menyampaikan pengumuman dalam bahasa Jawa. Sang pilot pun mengangguk ramah dan membalas saya dengan ucapan terima kasih. Pelajaran apa yang bisa dipetik dari peristiwa linguistik ini? Pesawat adalah jenis angkutan produk high-tech. Di dalamnya  sesungguhnya ada miniatur keragaman budaya, status sosial, agama dan profesi. Coba perhatikan! Di dalamnya ada pilot, co-pilot, pramugari, teknisi, dan penumpang dengan keragamannya. Ketika sedang di dalam pesawat, seseorang juga bisa menambah kekaguman ciptaan sang Ilahi. Pandangi awan gemawan yang bergulung indah di angkasa, burung-burung yang terbang tinggi, indahnya puncak gunung yang sebagian tertutup awan. Semua menggambarkan ciptaan Ilahi yang luar biasa. Coba renungkan siapa yang memungkinkan kita berada di dalam pesawat yang mengangkasa. Selain karena maskapai penerbangan, para ahli yang merakit pesawat, petugas di bandara, penjual tiket, bahkan staf yang menguruskan tiket untuk kita semuanya berkontribusi yang mengantarkan kita naik pesawat. Di situ ada kooperasi luar biasa. Bayangkan saja jika satu di antara mereka itu tidak mau menjalankan tugas dan fungsinya. Tentu kita tidak jadi mengangkasa. Lalu bagaimana dengan bahasa Jawa tadi?  Di dalam pesawat itu terjadi peristiwa budaya yang tidak bisa dipandang remeh. Di tengah-tengah kekhawatiran para pengamat bahasa akan terkikisnya bahasa daerah di negeri ini dan keengganan sebagian masyarakat untuk berbahasa daerah karena merasa tidak percaya diri dan tidak keren sang pilot justru melakukan hal sebaliknya. Dia dengan percaya diri berbahasa Jawa di saat pesawat masih mengangkasa. Karena itu, saya yakin bahwa bahasa daerah masih tetap eksis sepanjang pemiliknya masih setia memakainya. Mungkin sang pilot sadar bahwa kepunahan bahasa berarti kehilangan budaya yang tidak akan tergantikan. Tampaknya, sang pilot adalah orang punya kesadaran tinggi terhadap bahasa. Buktinya, selain bahasa Indonesianya rapi, bahasa Inggrisnya sangat fasih, juga bahasa Jawanya adalah bahasa kromo yang bagi generasi muda Jawa saat ini terasa asing. Menjadi modern  ternyata tidak berarti meninggalkan asal usul budayanya, yakni bahasa Jawa sebagai bahasa ibunya. Peristiwa budaya ini juga menambah khasanah pengetahuan bahwa selama ini para guru bahasa, pakar bahasa, pengamat bahasa, penggiat budaya dan sejenisnya dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kelangsungan dan kepunahan bahasa. Ternyata anggapan tersebut harus direvisi bahwa sang pilot pun bisa melanggengkan sebuah bahasa yang terancam punah. Saya sempat merenung andai saja semua pilot maskapai penerbangan melakukan hal yang sama dengan pilot pesawat Garuda yang saya tumpangi, pilot bersuku Aceh menggunakan bahasa daerah Aceh, yang Bugis berbahasa Bugis, yang Madura berbahasa Madura, yang Batak berbahasa Batak, yang Papua berbahasa Papua, yang Sunda berbahasa Sunda dan seterusnya, maka di dalam pesawat pun kita semua bisa menjadi Indonesia yang sejati dengan menghargai aneka ragam budaya yang kita miliki. Peristiwa beberapa menit itu telah meneguhkan keanekaragaman budaya Indonesia yang mesti kita lestarikan. Selamat pak pilot!

Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo

Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *