Pedebatan menyangkut Bank Century yang terjadi beberapa bulan terakhir ini sesungguhnya lebih banyak terkait dengan persoalan orang-orang kaya dan orang-orang berkuasa. Jika Bank Century masih dikaitkan dengan orang miskin, maka mereka hanyalah sebatas menjadi bagian yang terkena dampak dari persoalan itu. Kehidupan orang miskin, sehari-hari hampir-hampir tidak bersentuhan dengan Bank. Persoalan bank itu terasa sedemikian dahsyat. Dengan munculnya kasus Bank Century, orang menjadi saling mencurigai, di antara penguasa terjadi saling tidak mempercayai, muncul dugaan-dugaan kejahatan penyelewengan keuangan Negara, saling menghujat, sopan santun menjadi tidak terjaga, dan akhirnya yang tergambar adalah wajah buruk, yang semestinya tidak perlu terjadi. Namun dari kasus itu sesungguhnya masih ada sisa-sisa pelajaran berharga. Selama ini banyak orang mengejar-ngejar status agar menjadi orang kaya dan atau menjadi penguasa. Mereka mengira bahwa di sanalah tempat kebahagiaan dan kemuliaan. Kasus Bank Century setidak-tidaknya memberikan jawaban terhadap itu semua. Betapa susahnya orang kaya dan orang berkuasa, yang kebetulan merasa terlibat kasus itu, sebelum jelas dirinya benar-benar berhasil selamat. Mereka yang terlibat dalam kasus Bank Century, dan juga bank lain terkait dengan itu adalah orang-orang yang telah mengenyam pendidikan. Munculnya kasus ini, memberikan pelajaran bahwa berbekalkan pendidikan yang hanya memberi kemampuan intelektual dan professional ternyata tidak cukup. Agar lebih sempurna, kemampuan itu masih harus dilengkapi dengan kelebihan lainnya, yaitu berupa kekayaan moral, etika, atau akhlak. Pelajaran berharga lainnya dari kasus Bank Century itu adalah bahwa disusunnya undang-undang, peraturan, pengawasan, pemantauan, dan lain-lain, dimaksudkan agar orang menjadi jujur dan tidak ada penyimpangan, ternyata semua itu belum memadai. Pengawasan eksternal pada diri seseorang selain berbiaya mahal juga tidak selalu efektif. Seseorang yang sudah memiliki hati buruk, suka manipulasi, mengambil bukan haknya dan lain-lain, maka betapapun peraturan, undang-undang dan pengawasan itu disusun seketat apapun, ternyata pemilik hati buruk itu masih bisa mencari celah-celah untuk melakukan kejahatannya. Justru pengawasan yang bersifat internal, yaitu berupa keimanan, ketaqwaan, dan akhlak yang mulia memiliki kekuatan yang luar biasa untuk membangun ketahanan diri, jati diri, dan atau integritas yang tinggi untuk mencegah perbuatan menyimpang yang merugikan negara, bangsa, dan rakyat. Manajemen bank, selama ini dikenal sangat rapi, apalagi bilamana dibanding dengan manajemen insitusi lainnya. Akan tetapi ternyata karena sementara pengelolanya miskin keimanan, ketaqwaan, dan akhlak, maka tidak sedikit bank kebobolan hingga menjadi bangrut. Kasus Bank Century mengingatkan bagi semua, bahwa sebagus apapun manajemen dan kepemimpinan, manakala tidak didukung oleh orang-orang yang berakhlak tinggi dan mulia, maka masih akan tetap bobol. Akhlak semestinya selalu diletakkan pada posisi utama, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan juga dalam menyelesaikan persoalan-persoalan publik. Tanpa akhlak, kehidupan menjadi sangat rendah dan nista. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang