Format dan Harapan Pesantren Masa Depan

 Dalam rangka memperingati seratus tahun KH A.Wahid Hasyim,  pada hari Sabtu, tanggal 28 Mei 2011, di Universitas  Muhammadiyah Malang diselenggarakan sarasehan budaya dengan tema  format dan harapan pesantren masa depan. Sarasehan budaya tersebut terselenggara atas kerjasama panitia pusat peringtatan KH A. Wahid Hasyim dengan kampus tersebut.

  Pada  kegiatan tersebut,  saya diundang dan hadir untuk berbicara bersama Prof. Dr. Zamahsyari Dhofir dan KH Najih Maimun Zuber, pengasuh pesantren Sarang. Menurut keterangan panitia,  sebagaimana yang disampaikan oleh Prof.Zamahsyari Dhofir, saya diharapkan  berbicara  tentang Ma’had al Ali UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang berdiri sejak tahun 1999,  hingga sekarang  ternyata semakin mendapatkan pengakuan masyarakat.   Mengawali pembicaraan itu, saya menyebut  bahwa telah terjadi  sesuatu keadaan yang saya rasakan sebagai sebuah keindahan yang luar biasa.  Keadaan yang saya maksudkan indah itu ialah  terselenggaranya kegiatan  yang merupakan kerjasama antara panitia peringatan KH A Wahid Hasyim dengan Universitas Muhammadiyah Malang. Selain itu,  pemandangan  Indah juga terasa oleh karena terjadi   pertemuan yang langka, yaitu antara para  tokoh NU dengan pimpinan  Muhammadiyah  yang ada di kampus itu.    Hadir dalam kesempatan itu adalah semua  putra-putri KH A Wahid Hasyim, pimpinan NU, pimpinan pondok pesantren di Jawa Timur,  bersama pimpinan Universitas  Muhammadiyah Malang. Pertemuan tersebut saya anggap langka, karena memang jarang terjadi. Kejadian itu saya anggap indah oleh karena di lingkungan Muhammadiyah diselenggarakan  kegiatan peringatan seorang tokoh besar NU, yaitu KH A Wahid Hasyim. Walaupun sebenarnya, jika dilihat dari perspektif pemikiran  KH A Wahid Hasyim yang sedemikian besar dan luas,  hal itu adalah wajar terjadi. KHA Wahid Hasyim adalah seorang tokoh dan bahkan pahlawan nasional, hingga seharusnya ia menjadi milik  bangsa secara keseluruhan.   Dalam kesempatan itu saya sengaja bercanda, bahwa jarang terjadi orang-orang NU datang ke lingkungan Muhammadiyah, khawatir mereka  di-Muhammadiyahkan. Demikian juga orang Muhammadiyah,  jarang datang ke NU, apalagi ke tempat para pimpinannya, juga khawatir diajak menjalankan bidáh. Saya katakan  pada saat itu,  bahwa kita semua  bersama-sama hadir di tempat yang sama,  berbicara bersama tentang pendidikan pesantren. Maka,  terasa sekali suasana indah yang luar biasa, yaitu ummat Islam berhasil  menampakkan kebersamaan dan kesatuan, bahkan hal itu dilakukan oleh para tokohnya masing-masing.   Tatkala berbicara pesantren, saya sampaikan bahwa,  semakin lama variasi pesantren semakin bertambah banyak. Pondok pesantren, selain berjumlah  banyak,  keberadaannya juga sangat bervariatif. Kategorisasi pesantren yang dikembangkan secara garis besar  oleh para pengamat, yaitu pesantren salaf dan pesantren kholaf, sudah tidak memadai lagi. Pesantren salaf sendiri ternyata juga bervariatif dan demikian pula pesantren kholaf.  Dalam kesempatan itu,  saya menambahkan jenis variasi baru, ialah pesantren takmili, yaitu jenis pesantren yang posisinya sebagai penyempurna terhadap jenis lembaga pendidikan yang ada sebelumnya. Misalnya, UIN Maliki Malang  agar pendidikannya lebih sempurna maka didirikan  Ma ’had al Aly.  Dalam kesempatan itu, saya mengemukakan  bahwa pendidikan pesantren, sekalipun oleh sementara orang dilihat dengan sebelah mata, ternyata  memiliki kelebihan dalam hal tertentu, dibanding dengan jenis lembaga pendidikan lainnya.  Misalnya, tidak sedikit pesantren yang berhasil membekali kemampuan bahasa asing terhadap para santri-santrinya. Para santri pesantren Gontor Ponorogo, Pondok pesantren  al Amien Prenduan, Sumenep dan lain-lain, berhasil menguasai  Bahasa Arab dan sekaligus Bahasa Inggris dengan lancar. Para santri pesantren sekecil apapun, setelah belajar  beberapa tahun,  berhasil mampu memahami kitab  berbahasa Arab, —-membaca kitab kuning.   Sementara sekolah umum dan bahkan hingga perguruan tinggi sekalipun, belum semua berhasil menguasai bahasa Inggris. Maka artinya, dalam hal mengajarkan  bahasa asing pesantren lebih unggul.   Kelebihan itu juga menyangkut tentang kemandirian, hidup sederhana, kemampuan beradaptasi dengan masyarakat,  dan bahkan juga etos berwirausaha. Dalam berwirausaha, saya pernah menemui  alumni pesantren yang  berhasil membuka usaha pengembangan benih tanaman  pertanian. Ia sendiri yang merintis dan mengelolanya. Anehnya,  pegawai yang dipekerjakan, di antaranya adalah insinyur pertanian. Gambaran itu sederhana, tetapi bagi saya,  hal  itu menunjukkan betapa pesantren telah mampu membekali semangat dan sekaligus kemampuan memanfaatkan peluang  ekonomi secara tangguh. Hal demikian belum tentu dimiliki oleh lulusan perguiruan tinggi sekalipun.   Kelebihan  alumni pesantren lainnya adalah  dalam beradaptasi dengan masyarakat, apalagi di kalangan masyarakat muslim. Seorang kyai,   dengan  gaya bercanda,  pernah mengajak saya mempertandingkan kemampuan antara alumni pesantren dengan lulusan perguruan tinggi. Saya oleh kyai  tersebut diminta untuk mencarikan lulusan perguruan tinggi yang paling hebat. Kemudian kyai akan menunjuk alumninya yang paling rendah kualitasnya. Keduanya, —–lulusan perguruan tinggi dan pesantren,  ditugasi untuk memimpin   pengembangan masyarakat, atau  community development,  di pedesaan.   Selanjutnya  kyai  mengajak mengamati bersama, dalam pertandingan tersebut, mana di antara keduanya yang lebih cepat beradaptasi dengan masyarakat. Dengan  percaya diri, kyai  mengatakan bahwa,  dalam beradaptasi,   alumni pesantren akan lebih cepat dibanding lulusan perguruan tinggi.  Hal itu terjadi karena  lulusan pesantren  memiliki bekal  yang cukup terkait dengan kegiatan cultur keagamaan  di  masyarakat pedesaan, dan hal itu belum tentu dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi.   Atas  dasar kekuatan  tersebut, sekalipun  telah melewati berbagai hempasan perubahan sosial, budaya dan bahkan modernisasi, ternyata pesantren tetap berdiri tegak dan bahkan  berhasil melakukan adaptasi dengan tuntutan zamannya. Pesantren tetap tumbuh dan berkembang, baik pada tataran kualitatif maupun kuantitasnya. Banyak pesantren berdiri di mana-mana. Oleh karena itu,  menurut hemat saya,  kultur pesantren sangat tepat dikembangkan di lingkungan perguruan tinggi,  terutama  perguruan tinggi Islam.  Pesantren atau ma’had aly  yang diposisikan sebagai pesantren takmili  itulah,  di antaranya  yang saya sebut sebagai  format dan harapan pesantren masa depan. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share