Terinspirasi oleh kalimah bismillahirrahmanirrahiem, maka tatkala saya memulai memimpin STAIN Malang, maka pekerjaan yang saya dahulukan adalah berusaha untuk menyenangkan semua orang terlebih dahulu. Arrahman dan arrakhiem adalah sifat Allah yang bertebaran di semua surat al Qur^an. Kecuali surat attaubah, semua surat dimuali dengan kalimah bismillahirrahmanirrahiem itu. Bahkan surat al fatehah yang hanya terdiri atas tujuh ayat, terdapat dua ayat yang berbunyi arrahmanirrahiem itu. Saya menangkap, sifat Allah yang dua ini rupanya sengaja dilehkan jumlahnya dalam al Qur^an. Saya menggunakan rumus sederhana, bahwa sesuatu yang diulang-ulang menandakan bahwa itu penting untuk diperhatikan.
Saya memaknai kalimah itu sederhana, yaitu Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah selalu menunjukkan sifat-Nya itu. Sifat itu saya pahami sebagai kunci terjadinya penciptaan ini. Dengan kalimah bismillahirrahmanirra hiem, maka Allah menciptakan makluk berupa jagad raya ini. Hanya dengan kasih sayanglah jagad raya ini menjadi ada, termasuk juga manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dengan sangat sempurna. Oleh karena itu, ketika saya memulai melangkah menggerakkan seluruh potensi yang ada di kampus ini, saya berusaha menebarkan rasa kasih sayang, sebatas yang saya miliki. Saya mencoba untuk bersillaturrahiem kepada yang tua, yang telah lama mengabdi di kampus ini. Mereka itu tidak lain sebagian besar adalah para guru-guru saya sendiri. Saya juga mencoba bersillaturrahiem dengan para dosen muda, seangkatan saya dan juga di bawah generasi saya. Tidak terkecuali, juga bersillaturrraiem dengan para karyawan. Kasih sayang adalah merupakan kunci menggerakkan orang. Semua orang akan merasa senang dengan sifat kasih sayang, dan bahkan semua orang selalu mencari kasih sayang itu. Rasa senang itulah sesungguhnya yang akan menggerakkan dan mengarahkan perilaku orang-orang, yang dalam hal ini adalah para penghuni kampus ini. Saya mengetahui bahwa cara mudah menggerakkan orang adalah lewat peraturan dan atau uang. Tetapi saya yakin bahwa jika cara itu yang saya tempuh maka gerakan pengembangan kampus menjadi kurang alami dan tahan lama. Menggerakkan orang melalui peraturan semata biasanya hanya akan melahirkan sifat munafik atau tindakan semu. Seolah-olah mereka loyal padahal kenyataannya tidak demikian. Demikian pula, menggerakkan orang melalui uang, hanya akan melahirkan sikap korup. Orang kemudian hanya mau bekerja tatkala ada uang. Yang terjadi adalah bentuk-2 transaksional bagaikan orang di pasar, tempat berkumpulnya penjual dan pembeli. Lembaga pendidikan tidak selayaknya dibangun seperti itu. Saya ingin gerakan membangun kampus ini benar-benar didasari oleh suasana ikhlas, damai dan menyenangkan. Saya menginginkan dengan pendekatan seperti itu, kampus menjadi rumah bersama, para penghuninya saling menyayangi, memperkukuh dan saling memba ntu. Kampus Islam, bukan sekedar tempat anak-anak muda mengejar ilmu untuk mendapatkan selembar ijazah, tetapi lebih penting dari itu adalah tempat persemai an anak-anak manusia yang berhati lembut, cerdas, terampil dan berakhlak mulia. Meramaikan Masjid Salah satu pelajaran yang saya tangkap dari perjuangan rasulullah dalam membangun masyarakat Islam hingga sukses gemilang di antaranya adalah melalui masjid. Secara sederhana mesjid adalah tempat sholat, secara sendiri karena tidak ada orang lain atau dengan jama’ah. Di masjid, tatkala orang lagi sholat maka mereka mencurahkan hati, perasaan dan pikirannya hanya kepada Allah. Selain itu, di masjid orang dapat bersillaturrahiem satu dengan lain. Saya membayangkan alangkah indahnya, jika suatu komunitas di sana terdapat masjid kemudian pada setiap waktu sholat orang berbondong-bondong meninggalkan seluruh urusannya secara ikhlas dan kemudian membasuk wajah, tangan dan anggota badan lainnya (berwudhu) kemudian melangkah kakinya menuju masjid, sholat berjama’ah. Lima kali sehari semalam, dan jika itu ditunaikan, maka sillaturrakhiem akan sangat intensif, mereka akan saling mengenal melalui sholat berjama’ah itu. Luar biasa ajaran Islam ini. Di masjid sebelum sholat berjama’ah dimulai, seorang muadzin menyeru kan kalimah tauhid. Suara muadzin mengingatkan tentang ke-Maha Besaran Allah , kesaksian atas Muhammad sebagai rasul, mengajak untuk menunaikan sholat dan juga ke jalan kemenangan. Selanjutnya, seorang diantara yang berkelebihan bertindak sebagai imam, lainnya di belakang bermakmum. Sungguh merupakan suasana yang indah, tergambar lahirlah kebersamaan, kesetaraan, terjalin ikatan kasih sayang dan lebih sekedar saling kenal mengenal. Melalui forum jama’ah ini tidak akan ada orang yang teraleniasi, terpinggirkan apalagi terasingkan. Jika tolong-menolong secara teoritik dimulai dari proses saling kenal, lalu menjadi saling memahami, menghargai dan saling kasih-mengkasihi, sesungguhnya masjid adalah sarana efektif yang tidak ada bandingnya. Hanya saja problemnya, saya melihat ada sesuatu yang aneh dalam tradisi umat Islam di mana-mana, khususnya di Indonesia ini. Orang begitu gemar membuat masjid, sehingga di mana-mana ada masjid, tak terkecuali di kampus-kampus. Hanya sayangnya, sampai saat ini belum banyak orang yang gemar menggunakan masjid. Akibatnya, masjid banyak yang kosong, dan baru penuh jama’ah seminggu sekali tatkala dilangsungkan sholat jum’at. Pada waktu-waktu sholat rawathib pada umumnya masjid hanya didatangi oleh jama’ah yang pada umumnya jumlahnya amat sedikit, tidak sebanding dengan besarnya jumlah jama’ah yang ada di sekitar masjid. Jumlah meningkat pada umumnya ketika datang bulan ramadhan, dan lewat bulan itu, biasanya mengecil lagi jama’ahnya. Berbarengan dengan upaya menghidup-kembangkan kampus, saya menco ba untuk membangun tradisi sholat berjama’ah di masjid. Setidak-tidaknya, pada setiap sholat dhuhur, para dosen, karyawan dan juga mahasiswa saya ajak bersa ma-sama menunaikan sholat berjama’ah. Dengan cara ini, terasakan telah terjadi saling sillaturrakhiem dan hubungan menjadi lebih erat. Hanya saja, sholat ber jama’ah yang jika dihayati dan dirasakan sangat nikmat ini, tetapi tokh yang mau melaksanakan, sekalipun sudah berjalan lama, masih sebagian kecil saja. Sebagian besar masih lebih suka menjalankan sholat dhuhur di kantor atau dirumah masing-masing. Terasa sekali membiasakan, sekecilpun ini pun ternyata tidak mudah. Menagkap Inspirasi Lewat Membaca Ayat pertama kali turun, menurut sejarah al qur’an, adalah berisi perintah membaca. Umat Islam kiranya mengetahui hal ini. Sebab, sejak belajar agama di tingkat dasar atau di madrasah sejak awal persoalan ini sudah diperkenalkan. Tidak itu saja, pada setiap tahun, pada acara peringatan nuzulul Qur’an, yang selalu diselenggarakan dimana-mana persoalan ini selalu dikupas. Hasilnya orang menjadi paham, bahwa betapa penting aktifitas membaca ini dilakukan, baik membaca dalam pengertian leterleg, yaitu membaca apa saja yang tertulis maupun pengertian yang lebih luas dari itu, yakni membaca alam semesta. Di awal saya memimpin kampus ini, terkait mencari inspirasi baru, saya pernah menugasi beberapa orang dosen untuk melakukan studi banding. Mereka saya tugasi mendatangi kampus-kampus yang diselenggarakan oleh yayasan kristen atau lainnya, asal bukan yang berada di bawah organisasi Islam. Saya sengaja menyarankan seperti itu, agar teman-teman mengetahui dari dekat apa dan bagaimana serta sudah sejauh mana yayasan non Islam telah berhasil jauh mengembangkan perguruan tinggi. Ketika itu mereka datangi universitas katholik widya madala surabaya, universitas petra surabaya, universitas Satya Wacana Salatiga, Universitas Parahyangan Bandung, Universitas Atmajaya Jakarta, UKI Jakarta dan lain-lain. Setelah pulang, tampak sekali hasilnya sangat bagus sekali. Mereka yang baru saja melaksanakan studi banding tersebut tampaknya menjadi sadar bahwa selama ini mereka sudah tertinggal jauh dengan teman-teman yang beragama non muslim. Selain terbangun semangatnya, mereka juga mendapatkan informasi yang sangat berharga, termasuk bagaimana mereka memberikan citra baik terhadap kaum nasrani yang didatangi itu. Misalnya, bagaimana sesungguhnya orang-orang non Islam bersedia bekerjasama dan bersedia untuk membantu, memberikan informasi sejujur-jujurnya dan sebagainya. Belajar dari kasus ini, saya menjadi sadar akan pemahaman yang saya peroleh sebelumnya, bahwa kemajuan seseorang atau kelompok sesungguhnya tergantung dari dua hal, yaitu bahan bacaannya sehari-hari dan juga lingkungan pergaulannya. Ketika itu, sekalipun mereka sudah berada di lingkungan perguruan tinggi, kebanyakan bahan bacaannya masih terbatas. Demikian pula lingkungan pergaulannya. Pada umumnya, pergaulan yang dibangun baru sebatas di lingkung an kelompoknya sendiri. Anehnya, (maaf) yang berafiliasi Muhammadiyah berkumpul di lingkungan Muhammadiyah. Dan, sebaliknya, mereka yang berafiliasi Nadhlatul Ulama juga tidak berbeda, bergaul di lingkungannya sendiri. Akibatnya, informasi yang diperoleh, termasuk informasi yang telah dicapai oleh pihak-pihak lain tidak diikuti dengan baik. Namun begitu, pada umumnya, mereka sudah merasa benar dan paling maju. Mereka sudah merasa berada di barisan paling benar dan paling depan. Dalam bahasa al Qar’an yang mereka pahami, sudah merasa berada pada garis shirothol mustaqiem. Oleh karena itu, ketika mau keluar dari sarangnya, mencoba melihat sedikit saja apa yang sesungguhnya sudah terjadi di luar dunianya, mereka menjadi terkejut. Kegiatan membaca, apapun bentuknya, misalnya berstudi banding, ternyata mampu membuka mata, dan akhirnya ternyata shirothol mustaqiem selama ini belum sepenuhnya dilalui.. Menyatukan Hati Ayat al Qur’an yang memerintahkan agar umat Islam bersatu yang berbunyi „wa’tasyimu bikhablillahi jaminga’ wala tafarroquu“ saya yakini bukan sekedar ayat pelengkap. Sayat ini bagi saya, saya yakini sebagai hal yang serius. Artinya, memang Allah mewajibkan bagi umat Islam untuk bersatu dan tidak diperbolehkan saling bercerai berai. Ciri sebagai seorang muslim adalah kemampuannya untuk menjaga kesatuan dan persatuannya itu. Keyakinan saya bertambah kukuh dengan membaca ayat-ayat al Qur’an yang lain serta berbagai hadits nabi. Ayat yang saya maksudkan itu misalnya, innamal mu’munuuna ikhwah, faashlihku baina akhowaikum”. Demikian juga banyak hadits nabi bertebaran di berbagai kitab hadits, agar umat Islam membangun kesatuan dan persatuan ini. Bahkan, oleh karena (saya yakini begitu) pentingnya konsep persatuan ini, maka hubungan kasih sayang dikaitkan dengan kekuatan iman seseorang. “tidak sempurna iman seseorang jika belum mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri”. Kesimpulannya, ajaran persatuan antara sesama muslim merupakan keharusan dilaksanakan. Ajaran yang sedemikian indah itu pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit ditemui. Di lingkungan umat Islam terdapat kelompok-kelompok organisasi, baik organisasi sosial maupun organisasi politik. Masing-masing kelompok organisasi mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling unggul dan benar. Antar kelompok bukan melakukan “fastabiqul khoirot” sebagaiana yang dituntunkan al Qur’an, melainkan saling menjatuhkan. Seolah-olah ayat al Qur’an yang melarang bercerai berai dianggap sepele, bahkan mungkin dianggap tidak ada. Dianggapnya tidak salah dan dosa tatkala mereka saling bermusuhan dan bercerai berai itu. Padahal, jangankan di akherat, di dunia saja bagi orang-orang yang tidak mau bersatu, akan selalu mengalami kekalahan dan kehancuran. Ternyata, persoalan itu tidak terkecuali juga terjadi di kampus yang saya pimpin. Tidak perlu diraba-raba lagi, pragmentasi itu terdiri atas mereka yang berafiliasi pada Muhammadiyah dan Nadhdlatul Ulama. Tidak terkecuali para mahasiswanya, sebagian ada yang berafiliasi pada PMII dan sebagian lain HMI dan IMM. Secara manifest mereka memang memperlihatkan kerukunan dan saling pengertiannya di antara mereka masing-masing. Akan tetapi secara laten mereka sesungguhnya saling berkompetisi dan bahkan tidak jarang, kompetisi itu tidak sehat, apalagi dalam momentum yang bernuansa politik. Penempatan personil pada jabatan-jabatan yang ada seharusnya didasarkan atas pertimbangan profesional. Sebab, kampus pada hakekatnya adalah lembaga birokrasi yang menuntut kecakapan dan sikap pofesional itu. Akan tetapi pada kenyataannya hal itu sulit dijalankan oleh karena nuansa politik itu tadi. Menghadapi hal itu, banyak hal saya lakukan untuk menyatukan, baik melalui pintu-2 yang bersifat rasional maupun yang suprarasional. Yang saya maksud dengan jalan suprarasional itu adalah lewat do’a bersama, memohon kepada Allah swt. “allohumma alif baina qulubina” pada setiap saat, termasuk doa itu saya pesankan kepada teman-2 yang naik haji agar dibaca di depan ka’bah. Membangkitkan Ruhhul Jihad Dalam sejarahnya kebangkitan gerakan Islam atau amar ma’ruf nahi mungkar dimana saja selalu dimotivasi oleh apa yang disebut dengan ruhul jihad. Jika semagat jihad sudah disandang oleh seseorang, kelompok atau semua masyarakat, maka gerakan akan terjadi. Mereka akan mau melakukan apa saja yang dipandang sebagai bagian perjuangan, tanpa berharap memperoleh imbalan apapun. Bahkan, jika ruhhul jihad sudah bersemayam dihati maka, jangankan berharap mendapat imbalan, apa yang dimiliki mereka pun akan dikorbankan. Gejala itu dapat dengan mudah, secara sederhana, dilihat di banyak tempat dalam membangun masjid, musholla, panti asuhan, madrasah dan sejenisnya. Orang ikhlas menyumbangkan apa saja yang mereka miliki, atas dasar motivasi untuk jihad. Tatkala mereka menyerahkan harta dan tenaganya untuk kepentingan Islam tidak pernah terselip niatan agar memperoleh imbalan yang lebih besar. Dalam suasana seperti itu, justru semakin besar jasa yang diberikan untuk perjuangan itu orang semakin puas. Gerakan ini lebih bersifat emosional. Aneh memang, ruhul jihad itu dalam alam modern terasa redup. Orang lebih berorientasi pada suasana transaksional, termasuk dalam gerakan mengembangkan Islam. Fenomena ini tampanya memang khas selalu tumbuh dan berkembang pada alam modern. Oleh karena itu, jangan terlalu berharap, dalam alam modern ada sesuatu yang gratis. Sulit sekali kita temui orang menyumbangkan sesuatu, untuk madrasah, masjid, panti asuhan atau sejenisnya itu secara gratis, seperti disebut pada awal tulisan ini, didasari oleh ruhul jihad itu. Bahkan, tidak saja harta atau tenaga yang dijual belikan, pikiran pun harus diganti dengan uang. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para khotib dan bahkan imam masjid pun di zaman modern ini ada tarifnya. Kampus STAIN Malang adalah lembaga modern. Mestinya program kegiatannya dijalankan dengan mengacu pada kaidah-kaidah modern, yang di antaranya selalu berorientasi rasional, termasuk pendanaannya. Dalam setuiap kegiatan harus disertai jumlah anggaran yang disediakan. Akan tetapi jika hal itu dijalankan saya melihat tidak akan berjalan lancar. Hal itu disebabkan oleh jumlah dana yang tersedia pada awal kebangkitan kampus ini amat terbatas. Padahal pada sisi lain, diinginkan agar gerakan itu berjalan cepat, serentak dan menyeluruh. Satu-satunya alternatif yang bisa ditempuh adalah menghidupkan ruhul jihad terhadap seluruh warga kampus. Hasilnya, sangat mengagumkan. Kampus yang seperti disebut dimuka adalah basuik bagian dari budaya modern yang hampir semua aspek dinilai dengan uang, tetapi ternyata „sifat berkorban“ untuk kepentingan perjuangan Islam di dunia pendidikan masih bisa dikobarkan. Atas dasar semangat ruhul jihad itu, para dosen dan karyawan tidak pernah menghitung berapa jam kelebihan mereka melakukan aktifitas kedinasan tidak pernah dihitung. Bahkan tidak sedikit dosen dan karyawan yang bersedia urunan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang dipandang strategis dengan maksud agar cita-cita membangun kampus yang diidealkan segera terwujud. Inilah yang disebut dengan upaya menggerakkan ruhhul jihad itu.. Kebersamaan dan Saling Menghargai Belajar dari orang-orang sukses dalam perjuangannya terdahulu maka setidak-tidaknya ada satu hal yang harus dipegang teguh, yaitu kebersamaan dan saling menghargai. Rasulullah sukses, terlepas dari intervensi tangan Tuhan, telah menyatukan antara kaum muhajirin dan kaum anshor. Contoh aktual, Presiden Soeharto, yang tentu bukan bandingannya dengan Rasulullah, berhasil memimpin bangsa Indonesia sampai 30 tahun oleh karena dia berhasil melakukan restrukturisasi organisasi partai politik dari multi partai menjadi tiga partai politik. Ketiga partai politik inipun sesungguhnya, secara nyata sama, yaitu mengikuti kebijakan tunggal presiden yang berkuasa itu. Belajar dari apa yang dilakukan oleh rasulullah, dan juga dalam lingkup kecil kepemimpinan presiden Soehato yang mampu mempertahankan kekuasaan nya dalam waktu yang cukup lama, maka tatkala kita semua ingin membangun kampus STAIN Malang, kunci utama yang harus diperkukuh adalah persatuan, kebersamaan dan saling menghargai seluruh komponen yang ada. Terjadinya perbedaan yang kemudian memunculkan kelompok-kelompok adalah sebuah keniscayaan, akan tetapi perbedaan itu semestinya justru dijadikan instrumen untuk mempercepat kemajuan bersama. Saya yakin tidak seorangpun yang tidak sepakat atas betapa pentingnya persatuan di antara sesama, apalagi persatuan dalam warga kampus ini. Semua juga tidak ada yang tidak paham, betapa al Qur’an menganjurkan umat Islam dan bahkan umat manusia secara keseluruhan agar bersatu. Ayat al Qur’an yang berbunyi : Wa’tashimu bihablillahi jami’a wala tafarroquu telah dipahami dengan baik dan juga diyakini datangnya pesan itu dari Allah swt. Tidak ada satu mufassir yang memandang bahwa ayat tersebut posisinya sebagai tambahan dan karena itu kurang penting dibanding dengan ayat lainnya. Rusulullahpun juga menegaskan hal yang sama, agar tidak saja bersatu tetapi supaya ditumbuh-kembangkan mencintai orang lain. Cinta sesama adalah pintu membangun persatuan dan penghargaan terhadap orang lain. Bahkan mencintai orang lain, menurut Rasulullah, dipandang sebagai bagian dari keimanan seseorang. Hanya persoalannya, lagi-lagi, ternyata hampir semua orang, kelompok, organisasi baik yang kecil apalagi yang besar, kebanyakan tidak mampu menjaga persatuan dan memberikan penghargaan terhadap sesama. Melihat betapa besar bahaya akibat bercerai berai dan konflik disfung sional ini, saya berani mengatakan bahwa penyakit kampus yang amat menakutkan adalah benturan-benturan kelompok kepentingan. Kelompok-kelompok ini, biasanya bersifat idiologis artinya bersifat emosional, irrasional, tertutup, ekspansif dan subyektif. Mereka biasanya membenarkan kelompok yang mereka yakini, padahal jika diteliti lebih mendalam ternyata hanya sekedar membela kepentingan sempit, misalnya agar dimasukkan dalam kepanitiaan, mendapatkan jabatan kecil-kecilan dan ujung-ujungnya hanyalah sekedar mencari tambahan nafkah. Saya berani mengatakan hal itu, berdasar pada pengalaman saya selama ini, ternyata jika kegiatan tidak menghasilkan sesuatu yang langsung dirasakan, misalnya gerakan sholat berjama’ah, apalagi sholat subuh, tidak ada yang berebut hadir lebih awal. Belajar dari fenomena ini, ternyata kesatuan, kebersamaan dan saling menghargai yang sedemikian agung, dalam kehidupan sehari-hari terkalahkan oleh yang remeh dan sederhana, yaitu persoalan nafkah. Dalam ajaran Islam kerusakan itu dimulai dari hati yaitu hubbud dun’ya dan hubbuj jah dan bukannya hubbul Islam atau hubbilllah. Wallahu a’lam
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang