Hari Selasa, tanggal 18 Januari 2011 lalu, Harian Kompas menurunkan ulasan bahwa dari 33 orang gubernur ada 17 orang yang pada saat sekarang ini telah dinyatakan terkena kasus hukum. Sebagian perkaranya sedang diproses, sedangkan lainnya sudah difonis. Demikian pula, sejumlah besar bupati dan wali kota mengalami nasib yang sama, menjadi tersangka dan bahkan sudah dipenjara.
Dijelaskan pula pada harian tersebut bahwa para gubernur tersebut tatkala mengajukan dirinya sebagai pejabat daerah itu harus mengeluarkan dana puluhan dan bahkan hingga ratusan milyard rupiah. Biaya itu digunakan sebagai dana partisipasi partai pendukung, untuk kampanye, membayar tiem sukses hingga biaya saksi waktu pemilihan. Sementara, gaji jabatan itu tidak seimbang, lebih kecil dibanding dengan biaya yang harus dikeluarkan pada saat pemilihan. Rasanya sudah sedemikian jelas, mengapa para pejabat daerah itu menjadi sial hidupnya. Rumusnya tidak perlu dicari-cari. Mereka terperangkap pada system politik berbiaya tinggi. Isu demokratisasi yang dibangga-banggakan, ternyata menjerat banyak orang, hingga masuk pada kehidupan yang sangat tidak terhormat, yakni diadili dan kemudian dipenjara. Jumlah pejabat yang ternyata sial itu lebih dari separo dari keseluruhan yang ada. Hal itu menggambarkan bahwa system yang ada selama ini sangat berbahaya. Resiko sial sedemikian terbuka lebar. Siapapun yang memasuki wilayah itu, maka peluang sial sedemikian besar. Wilayah politik itu ternyata sedemikian berbahaya. Bahkan lebih berbahaya lagi, karena tuduhan penyimpangan tidak saja tatkala seseorang masih menjabat, melainkan ketika mereka sudah lama meletakkan jabatan, kasusnya boleh diangkat kembali untuk diajukan ke pengadilan. Rumus normative berbunyi, bahwa siapa saja yang bersalah maka harus diadili dan kemudian dihukum. Tidak pernah diihat sebab musabab hingga menjadikan seseorang melakukan kesalahan itu. Padahal ketika seseorang sudah menjadi tersangka dan apalagi dipenjara, maka harkat dan martabatnya menjadi jatun pada level terendah. Bahkan penderitaan itu tidak saja dirasakan oleh yang bersangkutanh, melainkan juga oleh isteri, anak dan keluarga besarnya. Saya bersyukur selama ini belum pernah mengalami nasip sial seperti itu. Akan tetapi tatkala mendengar berita, bahwa terdapat bupati, wali kota, gubernur dan apalagi mantan menteri harus menghadapi pengadilan dan akhirnya dipenjara, saya ikut merasakan sedih yang sedemikian mendalam. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan orang yang bersangkutan, isteri, anak, bahkan cucu serta keluarga besarnya. Mereka akan sedih, sakit hati dan malu yang luar biasa. Mantan pejabat yang seharusnya menikmati di masa tuanya, ternyata gambaran kebahagiaan itu hilang begitu saja. Isteri, anak dan keluarga lainnya harus mondar-mandir pulang pergi ke penjara untuk menjenguk. Hal itu tidak bisa dibayangkan, betapa berat beban hidup yang harus ditanggung oleh mereka. Jasa baik yang telah diberikan tatkala masih menjabat hilang percuma begitu saja. Orang yang mengalami nasip seperti itu akan merasa sakit hati yang berkepanjangan dan mungkin akan dibawa hingga mati. Saya termasuk orang yang sangat membeci perbuatan korupsi. Oleh karena perbuatan itu mengakibatkan rakyat menderita. Akan tetapi, saya juga merasa iba, kasihan, dan tidak sampai hati manakala mendengar bahwa seseorang dipenjara, hanya karena kesalahan system, dan bukan karena watak aslinya yang jahat. Orang jahat harus dihukum, tetapi sekedar salah, maka sebenarnya banyak pihak yang ikut andil terhadap lahirnya kesalahan itu. Angka lebih dari 50 % Gubernur yang menjadi tersangka dan bahkan sebagian sudah masuk penjara adalah bukan jumlah yang kecil dan sederhana. Mengikuti teori gunung es, maka kalau diteliti lebih lanjut, bisa jadi angka sebesar itu bisa bertambah. Sehingga para gubernur, wali kota dan bupati yang terbukti melakukan penyimpangan itu hanyalah karena sial. Sebenarnya, pada tingkat tertentu, masih ada lainnya yang melakukan hal sama. Hanya karena beruntung, maka mereka selamat. Fenomena seperti itu mestinya mendapatkan perhatian serius, agar ke depan tidak memakan korban yang lebih banyak lagi. Perhatian secara serius itu perlu atas dasar pertimbangan-pertimbangan berikut. Pertama, bahwa para pejabat dimaksud sebelum dipilih dan diangkat pada jabatannya adalah sebagai orang terpandang dan dikenal sebagai orang baik. Tidak akan mungkin seorang penjahat dipilih sebagai wali kota, bupati, guberniur dan apalagi menjadi menteri. Pengangkatan mereka, baik atas dasar pilihan rakyat atau tunjukkan presiden oleh karena nama dan citra baik yang dimiliki selama itu. Atas dasar pandangan itu, maka jika kemudian mereka melakukan kesalahan adalah oleh karena keterpaksaan, mereka hanya ingin mendapatkan pengembalikan sejumlah dana yang telah dikeluarkan sebagai biaya pemilihan jabatan itu. Semua orang tahu, bahwa untuk menduduki jabatan politik seperti bupati, wali kota, gubernur dan mungkin juga lainnya, tidak pernah diraih secara gratis. Kedua, adalah bahwa harkat dan martabat seseorang seharus dijunjung tinggi dan dipelihara, dan tidak boleh menjadi korban system yang diberlakukan. Manusia, siapapun harus dimuliakan, apalagi orang-orang tersebut selama itu adalah menjadi aset dan telah berbuat banyak untuk negara dan bangsanya. Mereka berhasil menduduki jabatan politik seperti itu, bukan sembarang orang. Jabatan itu diraih setelah yang bersangkutan melewati prose hidup yang panjang, baik terkait dengan pendidikan, pengalaman dan sejarah hidup lainnya. Ketiga, erat kaitannya dengan pendidikan. Para guru, ustadz, dan bahkan seorang dosen sehari-hari dalam menunaikan tugasnya sebagai pendidik, selalu memberikan contoh ideal dengan meunjuk seorang pimpinan daerah, wilayah dan bahkan seorang menteri sebagai reference person. Mereka itu diidolakan dan diposisikan sebagai contoh atau tauladan. Maka tatkala para pejabat daerah, wilayah hingga menteri dikabarkan telah menjadi tersangka dan apalagi masuk penjara, maka hilanglah kepercayaan terhadap guru, ustadz dan dosen yang selama itu telah mengajak mengidolakannya. Keempat, fenomena besarnya jumlah tersebut secara langsung atau tidak langsung akan merendahkan wibawa para pejabat pemerintah. Citra para pejabat sebagai pemimpin masyarakat yang seharusnya dihormati dan ditauladani menjadi sulit ditumbuhkan. Sebutan pejabat lekat dengan korupsi, penyimpangan, manupulasi, KKN dan sebutan negative lainnya. Padahal semua komunitas selalu memerlukan anutan atau pemimpin. Fenomena seperti digambarkan tersebut, menjadikan keadaan masyarakat seolah-olah tanpa anutan atau pemimpin yang bisa diikuti. Itulah mungkin di antara sebabnya, kharakter bangsa menjadi tidak jelas hingga banyak diperbincangkan pada akhir-akhir ini. Padahal sebenarnya banyak orang jatuh, bukan karena watak dan karakternya yang jahat, melainkan karena system yang mengantarkan mereka menemui nasib sial itu. Saya tidak ingin pemberantasan korupsi berhenti sedikit pun, tetapi sebaliknya, ke depan saya berharap tidak banyak orang yang masuk penjara karena diantarkan oleh system, sebagaimana banyak gubernur telah mengalaminya, mereka diadili dan masuk penjara. Sebagai seorang guru, saya merasakan sedemikian berat tugas mendidik seseorang. Menyadari hal itu, maka saya selalu membayangkan betapa mahalnya orang-orang terdidik dan akhirnya berhasil menjadi bupati, wali kota, gubernur dan bahkan menteri. Oleh karena itu betapa sedihnya, tatkala mendengar bahwa ternyata orang-orang pintar dan apalagi selama itu telah berhasil berkarya hingga dipercaya oleh rakyat dan bahkan juga pejabat yang lebih tinggi menjadi pejabat penting, tetapi ternyata dianggap telah melakukan kesalahan dan akhirnya dipenjara. Lebih menyedihkan lagi, oleh karena jumlahnya amat banyak. Maka pertanyaannya, apa dan siapa sebenarnya yang benar-benar salah di negeri ini. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang