Thursday, 20 March 2025
above article banner area

Guruku Itu Entah di Mana

Ketika   masih  di sekolah dasar, saya  punya guru yang sangat baik. Perilakunya santun, sayang  dengan murid-muridnya, pandai, sabar dan humoris, tetapi juga disiplin. Semua siswa di sekolah  itu menjadikan   beliau  sebagai guru  paling favorit. Kendati tempat tinggalnya jauh dari sekolah  tempat mengajar,  beliau tidak pernah terlambat dan justru datang paling awal dibanding guru-guru yang lain. Berpakaian rapi, rambut  mengkilap dan tersisir rapi, bajunya selalu dimasukkan ke celana dengan tas ransel di belakang sepeda pancalnya,  beliau tampak sebagai sosok guru  yang diidolakan.  Pakaian kesukaannya berwarna putih lengan panjang. Jika suatu kali beliau absen, para siswa pada bertanya di mana pak guru yang dicintai itu. Jangan-jangan sakit.

Jika ada kelas kosong karena ada guru yang tidak masuk, beliau masuki kelas itu dengan memberinya tugas untuk dikerjakan siswa. Selain agar tidak gaduh dan dapat mengganggu kelas yang lain, pemberian tugas dimaksudkan agar tidak ada waktu yang berlalu sia-sia tanpa pelajaran. Beliau bisa membagi perhatian dengan mengajar di beberapa kelas pada saat yang sama. Kadang-kadang siswa diberi dongeng, atau ceritera rakyat yang lucu-lucu tetapi penuh hikmah, di saat yang lain siswa diberi tugas  untuk dikerjakan. Hebatnya, beliau menguasai banyak ilmu, mulai dari ilmu hitung (sekarang matematika), menyanyi (termasuk menyanyi Jawa), ilmu bumi, bahasa Indonesia, hingga bahasa Jawa. Jika siswa kelihatan ngantuk atau capek karena pelajaran berlangsung  di waktu siang,  beliau ajak muridnya untuk menyanyi. Lagu kesukaannya berjudul “Desaku”. Sampai  sekarang pun saya masih  hafal benar lagu itu yang menggambarkan suasana pedesaan yang asri, jauh dari hiruk pikuk modernisasi,  dan  tempat orangtua serta handai taulan tinggal.Selain memiliki kelebihan, beliau juga memiliki tanda yang khas. Kalau berbicara sering mengulang kata tertentu berkali-kali, yaitu kata “memang”.  saya tidak tahu mengapa beliau suka sekali kata itu. Tak mengherankan kawan-kawan saya dengan sembunyi-sembunyi sering memanggilnya “Pak Memang”. Anehnya, beliau tahu kalau para siswa dengan sembunyi-sembunyi memanggilnya “Pak Memang”. Tapi sama sekali tidak marah, dan malah tertawa.Suatu kali  ada gambar peta bumi di papan tulis, yang di dalamnya tentu ada peta Indonesia. Peta bumi itu belum dihapus oleh guru sebelumnya yang baru mengajar ilmu bumi. Beliau meminta para murid memerhatikan peta itu dan melarang menghapusnya. Ternyata Pak Guru itu menjelaskan lebih lanjut tentang peta bumi itu dengan sangat menarik. Beliau sangat menguasai semua bagian peta bumi berikut nama-nama negara, laut  dan samudera yang mengitarinya.Beliau tunjukkan posisi dan peta Indonesia yang terletak di garis katulistiwa. Para siswa diminta untuk memperhatikan posisi Indonesia di dalam peta bumi itu.  Beliau uraiakan Indonesia yang terdiri atas beribu-ribu pulau yang terbentang mulai Sabang sampai Merauke. “Indonesia adalah negeri nan Indah bagaikan zamrut di katulistiwa”, begitu ujarnya. Itulah pertama kali saya mengenal istilah zamrut. Rasa nasionalismenya luar biasa, terlihat dari kebanggaannya menjelaskan keindahan, kekayaan alam dan budayanya serta posisi strategis Indonesia di antara negara-negara lain di dunia. Tetapi beliau mengingatkan bahwa Indonesia yang terdiri atas gugusan pulau-pulau seperti ini rentan perpecahan dan konflik. Karena itu, tugas kita semua, apalagi para siswa sebagai calon penerus perjuangan bangsa, menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Kita juga patut bersyukur kepada Allah dan berterimakasih yang tak terhingga kepada para pahlawan yang telah berjuang tanpa mengenal lelah dengan mengorbankan segalanya, termasuk jiwa dan raganya. “Karena itu, anak-anakku cintailah dan bangunlah negeri ini, tempat kita dan nenek moyang kita lahir dan hidup. Hormatilah semua warga bangsa ini, dari manapun mereka berasal, apapun suku, bahasa, adat istiadatnya, bahkan agamanya. Jangan lupa hormati guru dan orangtua”, begitu tandasnya.  “Cintailah desa kalian, sebab suatu saat anda semua akan meninggalkannya dan suatu saat pula akan merindukannya untuk kembali”, tambahnya. Guru saya itu memang hebat. Kendati hanya lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru), wawasannya tidak kalah dengan lulusan Sarjana S1 saat ini. Penjelasan tentang peta dunia tadi sejatinya beliau ingin menegaskan betapa pentingya sikap nasionalisme sebagai bangsa Indonesia, yang ternyata saat ini merupakan persoalan serius. Apa yang beliau khawatirkan tentang rentannya negeri ini dari perpecahan dan konflik ternyata sekarang menjadi kenyataan. Keinginan beberapa daerah untuk memisahkan diri dari NKRI merupakan bukti. Terhadap gejala separatisme, pemerintah meresponnya dengan kebijakan otonomi daerah.Hal lain yang tidak dapat saya lupakan sampai sekarang adalah beliau selalu mengajak para siswa untuk selalu berdoa baik sebelum memulai maupun mengakhiri pelajaran. Padahal, beliau bukan guru agama. Jika sebelum pelajaran doanya adalah agar siswa diberi kemudahan menerima pelajaran pada hari itu, maka sebelum mengakhiri pelajaran beliau berdoa semoga ilmu yang diterima pada hari itu bermanfaat untuk mengisi kehidupan. Kendati doanya disampaikan dalam bahasa Indonesia, tetapi suasana khusuk dan hening dapat kami rasakan. Ini karena ketulusannya. Bukankah Allah menerima doa hamba-hambanya yang tulus walau dengan berbagai bahasa?.Suatu kali tepat di depan kelas beliau menepuk-nepuk bahu saya sambil berucap agar saya terus sekolah ke jenjang yang paling tinggi. Saya pun tidak menjawab apa-apa selain hanya senyum. Saya tidak tahu apa maksudnya dan mengapa beliau melakukan itu. Yang jelas harapannya telah saya laksanakan dan telah menjadi kenyataan. Sayang saya tidak tahu di mana beliau sekarang berada. Andai saja beliau telah berpulang, saya berdoa semoga semua amal ibadahnya diterima Allah dan kekhilafannya diampuni.  Tetapi, jika beliau masih hidup, akan saya cari dan jika ketemu akan saya cium tangannya yang dulu pernah menepuk-nepuk bahu saya.  Sampai sekarang saya masih bertanya “ Guruku entah di mana?”._________Malang, 9 April 2010

Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo

Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *