Mengkritisi Rancangan UU Pendidikan Tinggi

Sudah beberapa bulan terakhir ini, DPR  menggunakan hak inisiatif,  menyusun dan berhasil  menyelesaikan  rancangan UU Pendidikan Tinggi.  Selanjutnya untuk  menyempurnakan konsep tersebut,  mereka melibatkan berbagai pihak untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Gilirannya pada tanggal 13 Juli 2011, para Rektor UIN dan ditambah IAIN Sunan Ampel Surabaya, diundang  oleh DPR Komisi X  yang membidangi pendidikan,  untuk memberikan masukan.

  Dalam kesempatan tersebut, sebelum   para Rektor UIN ——UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Malang, UIN Riau, UIN Bandung, UIN Makassar,  dan IAIN memberikan masukan, maka pimpinan Panja  Rancangan UU tersebut,  menyampaikan latar belakang perlunya ditetapkan  undang-undang tersebut. DPR melihat bahwa untuk menjadikan bangsa ini mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain, maka perlu dilakukan upaya-upaya strategis  peningkatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Disebutkan  bahwa,  lulusan perguruan tinggi selama ini jika dibandingkan dengan jumlah  penduduk secara keseluruhan,  masih sangat rendah.  Bahkan  ternyata  sebagian besar penduduk Indonesia masih  tamat sekolah dasar. Itulah sebabnya,  berbagai  upaya pembangunan ——tidak terkecuali pembangunan ekonomi,  masih sangat sulit dilakukan.   Memperhatikan persoalan  tersebut, maka dipandang  perlu dilakukan penataan kembali terhadap pendidikan tinggi secara menyeluruh, di antaranya dilakukan dengan cara menyusun Undang-Undang yang khusus tentang Pen didikan Tinggi. Melalui undang-undang tersebut diharapkan berhasil memberikan layanan pendidikan tingkat tinggi yang mampu memenuhi  daya tampung, terjangkau,  dan relevan dengan kebutuhan lapangan kerja.   Rupanya dengan keadaan bangsa Indonesia yang sangat heterogin, baik dari aspek agama, kultur, bahasa daerah, adat istiadat,  dan sejarah perjalanan bangsa yang selama ini dilalui, maka untuk menyusun undang-undang yang bisa mnengakomodari seluruh  aspirasi masyarakat,  ternyata tidakllah mudah.  Dari sudut sejarah misalnya, selama ini pendidikan tinggi tidak saja oleh kementerian pendidikan nasional, melainkan berada di bawah pembinaan  berbagai kementerian. Disebutkan bahwa,  tidak kurang dari 20 kementerian yang selama ini mengelola pendidikan tinggi, termasuk kementerian agama.              Kondisi seperti itu,  menjadikan pengelolaan pendidikan tinggi selama ini tidak mudah. Kementerian pendidikan nasional yang berkewenangan dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan  pendidikan tinggi, tatkala harus meningkatkan angka partisipasi maupun  kualitasnya  harus berkoordinasi dengan berbagai kementerian yang menyelenggarakan pendidikan tersebut. Tentu hal itu tidak mudah dilakukan, terutama tatkala akan membuat regulasi dan bahkan juga pengalokasian pendanaannya. Setidak-tidaknya dengan keadaan seperti itu, maka  perguruan tinggi menjadi beraneka ragam dan bahkan juga memiliki kualitas dan standard yang berbeda-beda.   Terkait dengan rancangan UU tersebut, ada sementara pihak  yang menginginkan agar pendidikan tinggi diurus oleh satu kementerian, yaitu kementerian pendidikan nasional. Namun lagi-lagi, keinginan itu tidak mudah diwujudkan, karena harus berhadapan dengan kenyataan sejarah panjang hingga menjadikan pendidikan tinggi seperti keadaannya sekarang ini. Apalagi, di  alam demokrasi, penyusunan undang-undang tidak mudah, karena jika terdapat pihak-pihak yang merasa kurang terakomodasi,  dan kemudian mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konsitusi,  dan selanjutnya dikabulkan, maka undang-undang harus dibatalkan. Pengalaman BHP yang lalu rupanya menghantui para anggota DPR yang sedang penyusun Undang-Undang Pendidikan Tinggi ini.   Dalam  kesempatan dengar pendapat di DPR  tersebut, para Rektor UIN dan IAIN lebih banyak memberikan gambaran terhadap keberadaan lembaganya masing-masing, baik dilihat dari sudut sejarah, politis, sosiologis, dan kultur bangsa Indonesia,  hingga tampak jelas  keberadaannya hingga  sangat strategis untuk dikembangkan dalam kontek membangun bangsa ini ke depan. Pada kesempatan itu,  para rektor UIN dan IAIN belum sampai membahas detail-detail rancangan undang-undang  dimaksud, tetapi baru sampai pada pembahasan yang bersifat  filosofis dan idealistis.   Hal yang  disorot agak tajam oleh para Rektor  adalah tentang pasal-pasal     yang  membedakan antar  PTN.  Dalam Rancangan UU tersebut  dibedakan antara PTN dan PTN Khusus. Disebut PTN adalah perguruan tinggi yang didirikan dan dikelola oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Sedangkan PTN Khusus adalah perguruan tinggi negeri yang didirikan dan dikelola oleh kementerian lainnya bersama kementerian pendidikan. Selain itu, juga dibedakan antara PTN dan PTN Khusus berbadan Hukum, PTN dan PTN Khusus mandiri dan PTD dan PTN Khusus unit pelaksana teknis.  Katagorisasi itu, dianggap kurang tepat oleh karena akan terjadi diskriminasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi.  Ke depan, apapun jenisnya diskriminasi itu seharusnya dihindari, dan bukan justru dikembangkan melalui undang-undang.   Jika undang-undang pendidikan  tinggi ini harus dibuat, dan dimaksudkan agar institusi ini  lebih cepat maju, maka yang diperlukan adalah pemberian otonomi  yang lebih luas.  Selama ini perguruan tinggi merasakan adanya  kekangan-kekangan sedemikian rupa,  sehingga kreativitas  sivitas akademika tidak tersalurkan. Sekedar membuka program studi baru misalnya, maka harus melewati birokrasi yang sedemikian panjang. Dengan demikian, seolah-olah para pimpinan kampus dan guru besar tidak lebih dipercaya daripada birokrat kementerian yang sehari-hari mengurus administrasi. Akibatnya, perguruan  tinggi hanya melaksanakan peran-peran yang bersifat teknis dan rutin. Akibatnya, perguruan tinggi hanya berusaha menjalankan tuntutan formal, yang tentu ke depan, hal itu akan  membahayakan terhadap lembaga pendidikan tinggi itu sendiri. Wallahu a’lam.    

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share