Pandangan Maju Kyai Madura

Sebagaimana umumnya kyai,  mereka selalu peduli terhadap ummatnya. Seorang tidak akan disebut  sebagai seorang kyai,  manakala tidak merasa diikuti dan bersama ummatnya. Oleh karena itu, sekecil apapun,  mereka merasa  memiliki tanggung jawab sosial. Kyai tidak pernah berpoikir hanya untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu,  kyai selalu menyebut ummat atau jamaáhnya.

Dalam suatu kesempatan, saya pernah bertemu dengan kyai Madura. Sudah menjadi kebiasaan,  dalam pertemuan itu  yang dijadikan pokok pembicaraan adalah pesantren dan umatnya. Kyai ini mengajak berbicara tentang umat setelah beberapa lama selesai dibangun  jembatan Suramadu. Kyai tersebut mengetahui bahwa jembatan itu akan berpengaruh secara  luas, baik  terhadap ekonomi, sosial,  budaya dan lain-lain. Lagi-lagi kyai tersebut berpikir tentang umat. Kyai membayangkan bahwa dengan adanya jembatan Suramadu,  maka antara Madura dan Surabaya jadi menyatu. Artinya, kegiatan ekonomi Surabaya akan berpengaruh besar terhadap kehidupan ekonomi  di Madura.  Dengan fasilitas transportasi yang semakin mudah, maka tidak mustahil akan diikuti oleh berdirinya perusahaan-perusahaan atau pabrik-pabrik di Madura, setidak-tidaknya di  sekitar daerah  lokasi  jembatan itu. Kyai Madura tidak ingin kemajuan ekonomi di daerahnya tidak memberi keuntungan  apa-apa terhadap ummatnya.  Tokoh agama di Madura tersebut tidak ingin ummatnya hanya menjadi penonton belaka,  dan bahkan  terkena limbah kemajuan yang terjadi di daerahnya. Kemajuan sebagai akibat adanya jembatan Suramadu juga harus dirasakan   oleh rakyat Madura sendiri. Dalam suasana asyik mendengarkan  pandangan kyai yang cukup maju tersebut, ada beberapa hal yang saya tangkap dari kyai Madura tersebut. Pertama, kyai selalu berpikir tentang ummat. Tokoh agama itu tidak pernah berpikir untuk dirinya sendiri.  Semangatnya adalah membela ummat. Ia tidak ingin ummatnya terugikan dari sebab apapun, termasuk adanya jembatan Suramadu itu. Kedua, hubungan antara kyai dengan ummat sedemikian kokoh. Hubungan itu diikat oleh berbagai hal, yaitu di antaranya adalah  ikatan  etnis dan  agama. Hubungan itu sedemikian kuat, hingga muncul semangat saling  membela dan melindungi. Hubungan antara kyai dan ummatnya sedemikian  kokoh. Hal  itu tidak sebagaimana hubungan yang hanya berdasarkan kepentingan ekonomi dan atau politik yang bersifat transaksional.  Hubungan-hubungan transaksional akan putus manakala transaksinya telah selesai. Ketiga, bahwa hubungan antara kyai dengan ummatnya ternyata  lebih kokoh bila dibanding  hubungan antara pejabat dengan rakyatnya. Sekalipun  rakyat harus mencintai pemimpin, termasuk pejabat dan sebaliknya, tetapi hubungan itu hanya diikat oleh peraturan  yang bersifat formal. Oleh sebab itu, tatkala seseorang sudah tidak lagi menjadi pejabat, maka hubungan  itu segera berubah. Demikian pula kepemimpinannya akan berhenti dan akan dipandang layaknya sebagai rakyat biasa.  Kiranya itulah salah satu sebab,  orang yang  menjadi pejabat di tingkat pusat, setelah berhenti dari jabatannya,  tidak mau kembali ke tempat asalnya, khawatir kehilangan posisi sebagai elite.Keempat, menghadapi modernisasi,  ternyata kyai menghadapi suasana delematis yang cukup tinggi, terutama terkait dengan model lembaga pendidikannya. Mempertahankan model pendidikan yang telah dikembangkan selama ini, —— pesantren salaf dengan kitab kuningnya, maka  akan beresiko,  yaitu para santrinya tidak akan mampu bersaing dengan tenaga ahli dan  professional hingga  hanya akan menjadi penonton.   Akan tetapi,  jika beradaptasi,  membangun pendidikan modern, maka khawatir akan kehilangan supremasi kelembagaan pendidikannya  yang telah dibangun  secara turun temurun.Dalam kesempatan mendengarkan pandangan kyai  yang cukup maju tersebut dan sekaligus membayangkan lembaga pendidikan yang telah dikembangkan oleh mereka,  saya melihat bahwa  sebenarnya adaptasi lembaga pendidikan pesantren dengan pendidikan modern sudah terjadi pada beberapa tahun terakhir. Di banyak pesantren,  selain masih mempertahankan pendidikan model salaf,   telah membuka sekolah formal, yaitu berupa  madrasah mulai dari tingkat ibtidaiyah hingga aliyah dan bahkan sampai perguruan tinggi.  Oleh karena itu, agar ummat  tidak  hanya akan  menjadi penonton  setelah adanya Jembatan Suramadu, maka yang diperlukan adalah support atau bantuan dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikan pesantren yang sudah banyak  berubah itu. Kedua bentuk lembaga pendidikannya  harus sama-sama diperkokoh, baik pendidikan yang bersifat salaf maupun  yang modern. Pengembangan pendidikan di Madura tidak perlu berorientasi untuk mengubah, melainkan seharusnya bersifat  menyempurnakan, yaitu memadukan secara kokoh antara pendidikan tradisional, ——-pesantren salaf,  dengan pendidikan modern. Hal yang kiranya perlu dikoreksi adalah tatkala pesantren mendirikan perguruan tinggi. Mestinya pesantren tidak selalu membuka fakultas/jurusan agama. Akan tetapi seharusnya, lebih tepat mengembangkan sains dan teknologi. Pembukaan fakultas/jurusan agama, maka kajiannya  hanya akan mengulang  di pesantren salaf yang telah ditempuh sebelumnya. Oleh sebab itu, mereka perlu  didorong untuk membuka program-program professional, seperti manajemen, keuangan, peternakan, pertambangan, teknik dan lain-lain.Saya berpendapat  bahwa   antara tradisi dan modernisasi  harus berjalan seiring dan seimbang. Dengan pendektan itu maka hubungan antara kyai dan  ummatnya tetap  terpelihara, namun  modernisasi  sebagai  cara mensejahterakan ummat tetap terjadi. Selain itu, kultur Madura tetap terpelihara sebagaimana dikehendaki,  dan    ummat tidak   akan  sekedar menjadi penonton. Atau dalam bahasa lain, mereka akan  berhasil memelihara tradisinya dan sekaligus meraih kemajuan di daerah  kelahirannya sendiri. Wallahu a’lam.      

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share