Wali Kota, NU, dan Merokok

Dalam suatu   sambutan  pada sebuah  pengajian,  walikota mengatakan bahwa ia bersyukur karena NU tidak melarang orang untuk merokok. Ucapan wali kota tersebut tentu secara spontan ditertawakan para peserta pengajian yang hadir.  Mendapat respon yang mengembirakan  itu, ia melanjutkan sambutannya,  bahwa  banyak orang berpindah ke NU oleh karena tidak tahan berhenti dari merokok.  Ungkapan itu tentu menjadikan orang  bertepuik tangan dan tertawa lebih panjang lagi. Rupanya walikota  mengetahui bahwa yang hadir dalam pengajian tyersebut kebanyakan adalah  warga NU, dan walikota juga tahu  bahwa organisasi ini tidak mengharamkan rokok.

Wali kota menjelaskan bahwa di wilayahnya terdapat  lebih  dari 100 buah pabrik rokok dengan berbagai merk,  ukuran besar maupun  kecil. Semua pabrik  rokok itu sehari-hari menyerap tenaga kerja puluhan ribu orang.  Anak-anak muda lulusan sekolah yang tidak melanjutkan kuliah, karena tidak memiliki biaya yang cukup dan juga tidak bekerja ke luar negeri, —— menjadi TKW atau TKI,  maka mereka bekerja di pabrik-pabrik rokok itu. Pabrik rokok menurut penilaian wali kota mampu memberi lapangan pekerjaan kepada puluhan ribu penduduknya, terutama mereka  yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Pemerintah sendiri mengakui,  belum  mampu menyediakan  lapangan pekerjaan kepada rakyat kecil yang jumlahnya sekian besar itu. Sehingga kehadiran pabrik rokok dianggap  sangat membantu pemerintah daerahnya dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Wali kota merasa sangat delematis menghadapi persoalan rokok. Diakui bahwa merokok adalah sangat beresiko terhadap kesehatan. Sebagaimana yang diiklankan di mana-mana, bahwa merokok dapat  mengakibatkan serangan jantung, kangker, sakit paru-paru, sesak napas, impotensi dan lain-lain. Akan tetapi jika mengkonsumsi rokok dilarang, dan pabrik-pabrik rokok itu juga dilarang beroperasi yang kemudian mengakibatkan terjadi pengangguran besar-besaran, maka resiko sosialnya juga tidak kecil, melainkan  akan sangat berbahaya.Mencarikan lapangan kerja bagi puluhan dan bahkan ratusan ribu orang yang selama ini  bekerja di pabrik rokok, tentu  tidak mudah. Padahal jumlah itu masih harus ditambah lagi  dengan jenis pekerja lain,  yaitu pekerjaan yang terkait dengan rokok. Mereka itu selain  jumlahnya juga besar, menyebar di mana-mana.   Mereka  itu adalah  para pedagang rokok, pedagang pupuk, obat-obatan dan lain-lain.  Jika merokok benar-benar dilarang, maka akan banyak sekali  pihak-pihak yang kehilangan sumber rizkinya, sebagai akibat larangan itu.  Oleh karena itu,  umpama merokok benar-benar dilarang, maka tugas wali kota akan bertambah berat lagi.  Wali kota tidak saja harus mencarikan lapangan pekerjaan baru,  yang tidak mudah dilakukan,  tetapi juga harus menanggulangi akibat krisis lapangan pekerjaan itu. Para penganggur akan melakukan kegiatan apa saja yang bisa dilakukan.  Banyak pengangguran  akan menambah persoalan baru yang tidak mudah diselesaikan. Menghadapi delematika itu, wali kota rupanya masih lebih memilih agar rokok  tetap dibolehkan. Sebab dengan begitu wali kota juga masih teruntungkan,  di antaranya misalnya  masih mendapatkan pajak penghasilan dari pabrik rokok tersebut. Selain  itu resiko merokok masih dianggap ringan dibanding jiika penduduknya menganggur tidak bekerja.  Mungkin benar, kesehatan para perokok terganggu, tetapi gangguan dari  besarnya jumlah  pengangguran   justru jauh  lebih besar dibanding dari resiko orang  merokok. Analisis terhadap bahaya  merokok banyak ditampilkan, hingga menghasilkan kesimpulan bahwa merokok bisa mengganggu  kesehatan. Akan tetapi  analisis  terhadap resiko sosial dari pelarangan merokok   yang tidak diikuti oleh penciptaan lapangan kerja baru, ternyata selama ini  tidak pernah dilakukan. Padahal bisa jadi, larangan itu akan berakibat lebih  fatal terhadap kehidupan sosial yang lebih luas. Sementara ini pihak-pihak yang melarang  merokok tidak pernah mencarikan alternative lain yang bisa digunakan untuk mendapatkan sumber rizki bagi masyarakat yang semula bekerja dari kegiatan yang terkait dengan rokok.      Mendengarkan sambutan wali kota tersebut,  banyak orang yang rupanya menjadi  paham bahwa ternyata melarang begitu saja tanpa melihat factor sosial lainnya terasa kurang sempurna. Masyarakat dan juga para pejabatnya sudah menanggung beban yang sedemikian besar,  agar kehidupan rakyat  bisa tetap berjalan sebagaimana adanya.  Larangan merokok  bisa diterima, asalkan   resiko yang lebih  besar, yaitu  penyediaan lapangan pekerjaan bisa diatasi.  Selain itu, fatwa larangan merokok, tanpa dibarengi oleh langkah-langkah strategis dan logis,  tidak akan mendapatkan respon posisitif dari masyarakat luas. Selain itu, resiko merokok  tersebut  dianggap masih  kontroversi,   oleh karena  resiko merokok, menurut sementara kalangan  belum  dirasakan secara jelas. Artinya  masyarakat  melihat, bahwa  masih  banyak orang yang selamat dan berumur panjang,  sekalipun  ia perokok.  Sebaliknya tidak sedikit orang terkena kangker, jantung, sakit paru-paru, ambiyen, gangguan  jenis penyakit lainnya, sekalipun  tidak merokok, dan begitu juga sebaliknya. Demikian pula  dokter yang hadir, yang   ikut mendengarkan sambutan walikota yang pro rokok tersebut,  juga hanya senyum-senyum saja. Wallahu a’lam.      

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share