Tidak ada nama yang lebih populer di Indonesia saat ini yang melebihi nama Gayus Tambunan dalam hal korupsi. Menurut saya, Gayus bukan saja nama seseorang, melainkan sudah melebar menjadi sebuah adegan peristiwa kriminal berupa mafia pajak. Karena itu, pada judul tulisan di atas tertulis Gayus dengan tanda petik ‘Gayus’. Ulah Gayus memang keterlaluan. Bagaimana tidak! Sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Golongan III di Direktorat Jenderal Pajak, Gayus memiliki kekayaan melimpah berupa beberapa rumah, deposito miliaran rupiah, jutaan dolar, dan mobil mewah. Sungguh tidak wajar dilihat dari statusnya sebagai PNS. Kekayaannya yang sebagian telah disita tidak lain merupakan hasil uang haram dengan cara main kong kalikong dengan para wajib pajak yang menyebabkan negara rugi trilyunan rupiah. Atas jasa Gayus, para wajib pajak, yang umumnya para konglomerat, bisa bebas melenggang tanpa harus membayar pajak ke negara.
Ulah Gayus menyakitkan dan menciderai hati masyarakat luas. Sebab, sebagai petugas negara di bidang perpajakan yang seharusnya mengumpulkan dana dari para wajib pajak untuk diserahkan ke kas negara demi pembangunan justru menyelewengkannya untuk kepentingan pribadi. Saat di tahanan pun Gayus bisa menghirup udara segar untuk menonton pertandingan tenis internasional di pulau dewata Bali dengan cara mengelabuhi petugas. Untung ulahnya diketahui oleh pers dan diekspos di berbagai media. Akibatnya, Kepala Penjaga Rumah Tahanan Brimob harus mempertanggungjawabkan raibnya Gayus ke Bali karena diduga menerima suap dari Gayus. Tuntutan dari berbagai kalangan agar kasus Gayus dibongkar sampai ke akar-akarnya semakin meluas. Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo yang baru dilantik segera bereaksi dan berjanji akan menuntaskan kasus Gayus dalam waktu sepuluh hari. Kini waktu yang dijanjikan itu sudah lewat. Lewat Kabareskrim, Kapolri mengakui sulit membongkar kasus Gayus karena tidak ada cukup bukti untuk menyeret dia melakukan tindak pidana korupsi. Menurutnya, yang bisa dijadikan alat mengadili Gayus adalah pasal mengenai gratifikasi. Para ahli hukum menyatakan jika pasal itu yang dipakai, maka hukuman Gayus terlalu ringan. Dalam penjelasannya sebagai saksi ahli, mantan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, juga mengatakan bahwa pasal yang akan dikenakan pada Gayus terlalu ringan. Karena itu, dia memohon majelis hakim yang menangani kasus Gayus untuk mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dengan mengenakan pasal berlapis pada Gayus. Sekjen ICW (Indonesia Corruption Watch), Teteng Masduki, dalam peringatan ‘Hari Anti Korupsi Se Dunia‘ pada 9 Desember 2010 di Jakarta mengatakan sangat sulit memberantas korupsi di Indonesia karena sudah masuk ke birokrasi pemerintahan mulai lapis paling bawah ke yang paling atas, dan bahkan ke lembaga-lembaga penegak hukum. Beberapa laporan lembaga-lembaga negara seperti kementerian yang melaporkan rendahnya angka korupsi di lembaga masing-masing ditanggapi dingin oleh masyarakat karena kenyataannya masyarakat merasakan tindak pidana korupsi yang secara sistematis dilakukan oleh para oknum semacam Gayus. Kata Teteng lebih lanjut korupsi sudah benar-benar membudaya di negeri ini dan merasuk hingga berbagai lapis birokrasi pemerintahan. Di depan para peserta Rapat Kerja Kejaksaan Tahun 2010 di Istana Negara Jakarta, Senin, 13/12/2010, Presiden SBY sendiri (Kompas, 14/12/2010: 3) mengakui bahwa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegakan hukum menurun. Salah satu penyebabnya adalah penyimpangan yang dilakukan oleh para penegak hukum itu sendiri. Menurutnya, beberapa bulan terakhir ini terjadi penurunan keperrcayaan publik pada proses penegakan hukum. Ini disebabkan, di antaranya, oleh terjadinya penyimpangan oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Masyarakat tampak apatis terhadap upaya pemerintah memberantas korupsi. Salah satu agenda utama pemerintahan SBY dan bahkan janjinya dulu akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi ternyata hanya berjalan di tempat dan dikesan tebang pilih. Karena itu, di mata publik dalam hal pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum, rapor pemerintahan SBY dinilai merah. Artinya, kinerja di dua bidang tersebut sangat rendah. Benar bahwa di era pemerintahan ini banyak pejabat mulai mantan menteri, Dirjen, gubernur, bupati, walikota, hingga para kepala dinas yang dipenjara karena terbukti korupsi. Tetapi jumlah dana yang diselewengkan tidak sebanyak kasus mega korupsi yang belakangan terjadi. Karena itu, saat ini masyarakat sudah muak dengan berita korupsi, karena tidak pernah tuntas, mulai kasus Bank Century, BLBI, Anggodo, dst. Korupsi merupakan kejahatan yang terorganisir (organized crime) dengan rapi. Dampaknya sungguh luar biasa. Beberapa di antaranya adalah kemiskinan, kesengsaraan rakyat, citra buruk pada bangsa yang mengakibatkan enggannya para investor menanamkan modal, target pembangunan tidak tercapai. Para ahli tentang korupsi membuat daftar akibat korupsi antara lain: menyebabkan biaya tinggi penyelenggaraan pemerintahan, memperlemah sektor privat untuk menjadi tergantung dengan pihak lain, mendegradasi keberadaan dan peran sektor publik. Jika mau menengok ke belakang yang terjadi pada 1987-1998, ekonomi Indonesia runtuh dan menjatuhkan kekuasaan Orde Baru pada bulan Mei 1998 salah satu penyebabnya adalah praktik korupsi. Elit Orde Baru dilingkari para koruptor kelas kakap dan tatkala ekonomi negara mulai goyah para koruptor itu justru membawa lari dana ke luar negeri. Baru-baru ini ada penelitian seorang ekonomom di Lembaga Keuangan Internasional (IMF), Paolo Mauro, menunjukkan dampak yang sangat serius bagi negara yang angka korupsinya tinggi. Menurutnya, korupsi mengakibatkan negara tidak mampu meningkatkan angka pendapatan per kapita masyarakatntnya, rendahnya dana pendidikan — padahal pendidikan merupakan sektor paling penting untuk meningkatkan sumber daya masyarakat —, dan lemahnya angka pertumbuhan ekonomi nasional. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan seperti Indonesia, Filipina, Thailand, India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka adalah contoh negara-negara dengan tingkat korupsi sangat tinggi. Karena itu, wajar jika kemajuan pembangunan masyarakat sulit dicapai. Para koruptor semacam Gayus dan lainnya tentu tidak berpikir bahwa tindakan mereka akan berakibat sangat fatal bagi bangsa. Yang mereka pikirkan hanya kepentingan sesaat, yakni mengeruk keuangan negara demi kepentingan pribadi. Di tengah-tengah 13 % lebih dari 237 juta rakyat Indonesia yang masih miskin, ulah Gayus dan orang-orang sejenisnya memang menyesakkan dada. Karena itu, agar praktik korupsi tidak terus berlangsung di negeri ini harus ada tekanan yang masif dari seluruh komponen bangsa bahwa kita semua sudah sangat muak dengan tindakan para koruptor dan mendesak aparat penegak hukum untuk memasukkan korupsi sebagai tindakan extra-ordinary crime sehingga pelakukanya bisa dijatuhi hukuman berat. Saya yakin semua warga bangsa ini tidak ingin stigma Indonesia sebagai salah satu negera terkorup di dunia terus melekat pada bangsa ini. Kita tidak ingin ada Gayus-Gayus baru muncul di negeri ini. Cukup Gayus HP Tambunan saja yang akan segera meringkuk di penjara karena ulahnya yang keterlalulan sekaligus mengakhiri drama mafia pajak di Indonesia. _________ Malang, 15 Desember 2010
Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo
Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang