Panjebar Semangat, Tetap Eksis di Tengah Persaingan

Panjebar Semangat, Tetap Eksis di Tengah Persaingan

Panjebar Semangat, Tetap Eksis di Tengah Persaingan

Panjebar Semangat, Tetap Eksis di Tengah Persaingan

Jumat, 03 Mei 2013 09:32

Bagi orang Jawa mungkin tak asing dengan majalah Panjebar Semangat. Ya, majalah ini hampir berumur 80 tahun. Umur yang cukup tua bagi sebuah media cetak. Meskipun demikian, sampai saat ini majalah tersebut masih tetap eksis di tengah persaingan yang semakin ketat dengan media cetak-media cetak lainnya yang semakin menjamur. Majalah ini terasa sebagai sebuah warisan sejarah karena didirikan oleh salah satu tokoh perintis Pergerakan Nasional yaitu dr. Soetomo. Surat kabar “Soeara Oemoem” merupakan cikal bakal dari lahirnya Panjebar Semangat. Harian tersebut setiap kali terbit terdiri atas dua belas halaman. Delapan halaman merupakan halaman berbahasa Indonesia sedangkan empat halaman sisanya yang disebut volks editie (edisi rakyat) menggunakan bahasa Jawa.

Setelah melalui beberapa edisi, halaman Soeara Oemoem edisi rakyat dipisahkan. Sebagai gantinya, maka pada 2 September 1933 diterbitkan majalah mingguan berbahasa Jawa yang diberi nama Panjebar Semangat (PS) yang diprakarsai dan dibiayai oleh dr. Soetomo. Sejak itu sampai kini, PS terbit setiap Sabtu.

Majalah PS memang sengaja menggunakan bahasa Jawa sejak pertama kali terbit karena seperti yang sudah dikemukakan pada paragraf sebelumnya, mayoritas masyarakat pada masa itu lebih memahami bahasa Jawa ketimbang bahasa Indonesia. Mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam artikel dr. Soetomo berjudul âToedjoean lan Kekarepanâ (Tujuan dan Kehendak) yang menjadi editorial pada edisi perdana PS: (sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia) â…, Beribu-ribu banyaknya bangsa kita yang masih belum dapat berbahasa Indonesia,… Hal ini terlihat di dalam pergaulan kita sehari-hari dan juga pada saat ada rapat. Di beberapa tempat, jika ada orang yang akan berpidato menawarkan pada para hadirin pilih menggunakan bahasa apa, mereka berkata serentak, minta menggunakan bahasa Jawa…â Dengan begitu, pesan-pesan dan informasi yang disampaikan oleh PS dapat dipahami oleh para pembacanya.

Edisi perdana PS masih berupa lembaran koran yang terdiri atas empat halaman, kemudian berkembang menjadi tabloid berisi 16 halaman mulai edisi 7 September 1935 dengan sampul berwarna hijau. Baru pada tahun 1949 ketika pimpinan redaksi dipegang oleh Imam Soepardi, PS bertransformasi menjadi majalah setelah kembali terbit karena sempat vakum sejak tahun 1942 disebabkan pemerintah militer Jepang yang berkuasa pada saat itu melarang penerbitan segala media massa berbahasa daerah. Tidak hanya itu, mesin-mesin zet Intertype dan percetakannya pun juga ikut disita dan tidak kembali.

Kelahiran kembali itu ternyata membawa berkah. Sambutan yang luar biasa tidak hanya datang dari masyarakat berbahasa Jawa di tanah Air saja tetapi dari juga mereka yang bermukim di beberapa wilayah di mancanegara seperti Suriname, Kaledonia Baru, Malaya (Malaysia), Muangthai, Birma (Myanmar), Vietnam dan sekitarnya. Oplahnya pun semakin meningkat dari waktu ke waktu sampai mencapai 85.000 eksemplar menjelang tahun 1960.

Namun kondisi ini tidak berlangsung lama karena kondisi Indonesia yang kembali tidak menentu sampai menjelang G30S 1965 ikut mempengaruhi fase perkembangan PS yang kembali pada fase kritis. Oplah menurun akibat daya beli masyarakat yang rendah disebabkan oleh krisis ekonomi. Selain itu kualitas hasil cetak yang tidak bagus yang berakibat pada huruf-hurufnya yang sulit dibaca menyebabkan oplah PS menurun drastis menjadi hanya 18.000 eksemplar memasuki tahun 1966.

PS pun berbenah terutama pada pembenahan dan perbaikan alat-alat cetak yang bukan milik mereka sendiri. Secara perlahan-lahan oplah PS merangkak naik menjadi 22.000 eksemplar pada tahun 1968 dan semakin bertambah dari tahun ke tahun. Keberhasilan memiliki percetakan sendiri pada tahun 1975 setelah membeli alat percetakan dari Jerman ternyata juga ikut berpengaruh pada kenaikan oplah yang sampai menyentuh angka 66.000 eksemplar pada tahun 1985. Namun sekali lagi kenaikan itu tidak dapat terlalu lama dipertahankan karena setelah tahun 1985 oplahnya secara bertahap mengalami penurunan.

Tidak dapat dipungkiri jika semakin lama oplah majalah ini tidak sampai sebanyak pada masa jayanya. Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, semakin menjamurnya media massa tentu saja menjadi saingan berat bagi PS. Kedua, kalau dahulu mayoritas masyarakat dapat memahami bahasa Jawa, kali ini sebaliknya. Masyarakat terutama generasi muda lebih memahami bahasa Indonesia. Ketiga, antusiasme yang kurang dari generasi muda terhadap majalah PS karena mengidentikkan sebagai majalahnya orang tua.

Tentu saja redaksi berusaha menyikapinya dengan memanfaatkan celah yang dapat dimasuki. Misalnya tidak menghapus rubrik “Alaming Lelembut” yang berisi cerita misteri karena rubrik ini cukup memiliki nilai jual yang tinggi. Selain itu redaksi juga menambah porsi halaman untuk rubrik “Gelanggang Remaja” karena ternyata rubrik ini diminati oleh kalangan remaja. Terbukti dengan banyaknya tulisan dari mereka yang masuk ke redaksi, misalnya cerpen, tips-tips, info-info yang berhubungan dengan gadget dan selebritis, dan sebagainya. Usaha redaksi terbukti mampu mempertahankan eksistensi PS sampai berumur tiga perempat abad di tengah persaingan ketat diantara bermacam-macam media massa yang semakin menjamur dewasa ini. (as/dari berbagai sumber)

* JJ Royal Coffee, Kopi Premium Asli Indonesia (2013-05-02) * Tas Elizabeth, dari Bandung Tembus Pasar Internasional (2013-04-26) * Cecocuit: Bisnis Alat Tulis Ramah Lingkungan dari Tugas Kuliah Wirausaha (2013-04-24) * Dagadu Djogja, Bukti Bahwa Kreativitas Itu Menghasilkan Uang (2013-04-14) * Mirota Batik Turut Menjaga Citra Yogyakarta (2013-04-12)

Share