Dalam Al Qurán Terdapat Perintah Mempelajari Ciptaan Allah

Bagi siapapun yang membaca al Qur’an akan menemukan ayat-ayat yang merupakan perintah agar manusia  mempelajari ciptaan Allah. Ciptaan mana yang harus dipelajari itu, ternyata ditunjukkan sangat luas, yaitu yang ada di langit dan yang ada di bumi. Bahkan sebutan sebagai ulul albaab, adalah orang yang berdzikir dan  orang yang memikirkan terhadap ciptaan Allah yang luas itu.

  Mempelajari ciptaan Allah bukan pekerjaan mudah,  karena sedemikian luas, rumit, dan begitu banyaknya. Ciptaan Allah ada yang bisa ditangkap oleh indera, dan ada pula yang tidak bisa ditangkap oleh kemampuan manusia itu. Ciptaan Allah yang tidak bisa ditangkap oleh indera misalnya alam malakut, jin, syetan, surga, neraka, qodho’ dan qodar-Nya. Semua itu tidak akan mungkin bisa dilihat. Diyakini ada, tetapi tidak bisa dibuktikan secara empirik.   Informasi tentang ciptaan Allah yang tidak bisa ditangkap oleh indera itu, diperoleh dari keterangan kitab suci atau kabar yang diterima dari utusannya, yaitu para Nabi dan rasul-Nya. Orang tidak pernah melihat malaikat, jin, syetan, dan juga hari akhir, tetapi mereka meyakini kebenarannya. Dahulu, sebelum ilmu pengetahuan maju seperti sekarang ini, terasa sulit meyakini kebenaran informasi itu.  Namun dengan kemajuan ilmu pengetahuan, hal seperti itu menjadi lebih mudah. Sebab ternyata tidak sedikit sesuatu yang tidak kelihatan tetapi benar-benar ada.   Dahulu, orang mengirim berita menggunakan jasa pos, tilpun berkabel, bahkan juga menggunakan burung merpati. Pada saat ini, orang mengirim dan menerima berita cukup menggunakan tilpun seluller, tanpa kabel. Dengan kemajuan teknologi, orang bisa berkomunikasi dengan siapapun di antara belahan dunia ini. Bahkan tidak saja suara yang bisa dikirim, tetapi juga gambar, tulisan, naskah beribu-ribu lembar tanpa batas, bisa dikirim menggunakan alat yang diciptakan sendiri oleh manusia. Alat pengirim itu bisa dilihat, akan tetapi mekanisme proses pengiriman itu tidak terlihat. Dengan demikian, maka artinya tidak selalu yang tidak tampak memang tidak ada.   Sedang ciptaan Allah yang tampak, jumlahnya juga sedemikian banyak, di antaranya berupa alam, manusia, dan kehidupan  itu sendiri. Selama ini alam dikategorikan menjadi ilmu biologi, ilmu fisika, kimia dan matematika, yang selanjutnya disebut sebagai ilmu-ilmu alam murni. Sedangkan manusia dipelajari dari sudut perilaku dan kehidupannya. Perilaku manusia dikaji dari pespektif  sosiologi, psikologi, sejarah, antropologi   dan selanjutnya disebut sebagai ilmu sosial.  Sedangkan kehidupan manusia dan budayanya dipelajari dari sudut pandang filsafat, bahasa dan sastra,  dan seni  kemudian semua itu disebut sebagai ilmu humaniora dan budaya.   Mempelajari itu semua adalah merupakan perintah al Qur’an, sebagaimana disebutkan di muka. Bahwa manusia dianjurkan untuk mempelajari ciptaan Allah baik yang ada di langit maupun di bumi. Semua yang disebutkan di muka, seperti ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora, adalah sebagian dari ciptaaan Allah. Sudah barang tentu bahwa sikap yang perlu dikembangkan  adalah niat atau motivasi dalam mempelajarinya. Sebagai orang Islam mempelajari semua ilmu tersebut  harus didasarkan pada niat yang tepat, yaitu sebagaimana dikemukakan di muka, ialah  untuk memenuhi perintah-Nya yang disampaikan melalui  al Qur’an dan hadits nabi.   Pandangan seperti itu menjadikan bahwa mempelajari fisika, kimia, biologi, sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi, politik dan seterusnya adalah dalam kerangka memenuhi perintah Allah. Tidak tepat jika belajar hanya dimotivasi oleh hal sederhana, misalnya agar lulus ujian, atau mendapatkan ijazah. Mempelajari ilmu pengetahuan yang hanya dimaksudkan untuk mendapatkan penilaian dari guru atau sejenisnya, maka tidak akan mendapatkan apa-apa. Oleh karena niatnya yang tidak benar, maka kegiatan itub  akan dilakukan dengan cara yang tidak benar, misalnya dalam ujian dilakukan dengan menyontek atau menipu. Jika cara ini terjadi, maka hilanglah nilai pendidikan yang sebenarnya.   Seseorang yang  menjalani pendidikan,  menempuh cara-cara yang tidak benar, maka ilmu yang didapatkan tidak akan bermanfaat. Ilmu yang diperoleh  tidak akan berhasil meraih maksud yang sebenarnya, yaitu mendekatkan diri pada Tuhannya.  Sebab  tujuan sebenarnya dari mencari ilmu adalah untuk mengenal dirinya, alam sekitarnya dan Tuhannya. Selanjutnya dengan ilmunya itu, maka seseorang akan mendapatkan petunjuk dan derajat yang mulia, sebagaimana dijanjikan oleh Allah melalui kitab suci-Nya pula.   Berangkat dari pandangan  tersebut, maka sebenarnya tidak akan mungkin dipisahkan antara al Qur’an dan ilmu pengetahuan. Al Qur’an menganjurkan kaum muslimin untuk melihat, memperhatikan, meneliti dan  memahami  alam semesta. Dengan begitu, ummat Islam semestinya menjadi lebih dahulu mengetahui rahasia alam dan kehidupan manusia dari ummat lainnya. Selain itu,  ummat Islam tidak saja menjadi unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan  juga menjadi tempat bertanya bagi orang-orang yang datang dari mana saja.   Namun pada saat ini, keadaannya masih terbalik. Umat Islam masih tertinggal  dari  ummat lainnya, disebabkan oleh karena belum mengembangkan ilmu pengetahuan secara sungguh-sungguh. Ummat Islam masih terbatas lebih mengembangkan salah satu aspek dari ajaran Islam, yaitu aspek ritualnya. Sebagai akibatnya, mereka  sangat peka terhadap hal-hal yang bersifat ritual dan spiritual, dan sebaliknya, terkait    ilmu pengetahuan dan teknologi, kehidupan sosial dan politik, ekonomi dan lain-lain,  masih dipandang seolah-olah  belum menjadi bagian tugasnya.   Bukanlah persoalan ritual tidak penting. Bahkan dalam Islam harus dilakukan sebaik dan sekhusuk-khusuknya. Namun aspek lainnya harus mendapatkan perhatian juga secara cukup.  Faktanya,  hingga saat ini masih banyak  di kalangan cendekiawan muslim,   baru  gemar  berbincang dan berdebat terkait  hubungan Islam dan ilmu pengetahuan. Anehnya,  perdebatan itu  seperti tidak menemukan hasil.  Banyak di antara mereka masih menganggap bahwa Islam hanyalah ajaran yang terbatas pada persoalan  aqidah dan  syrari’ah. Selain itu dipandang bukan bagian dari wilayah Islam, sehingga tidak dianggap salah jika  diabaikan. Padahal   al Qur’an sendiri   memerintahkan agar   mempelajarinya secara terus menerus,  tanpa mengenal henti. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share