Ternyata ada saja orang bertanya, tentang hal sepele, untuk menyelesaikan problem kejenuhan. Pertanyaan itu seringkali, —–sesuai dengan tugas saya sehari-hari, datang dari mahasiswa atau dosen. Mereka mengaku, kadang sedemikian bersemangat belajar agar lulus tepat waktu, atau mengerjakan sesuatu tugas agar segera selesai. Tapi apa boleh buat, tugas itu tidak selesai oleh karena menemui titik kejenuhan.
Tatkala menemui masa jenuh, seseorang mengaku sangat malas. Mau menyentuh pekerjaannya seperti tidak ada tenaga. Alasannya, besuk masih ada waktu yang lebih baik. Mau kerja, seperti sama sekali tidak ada semangat. Seolah-olah, ia rela cita-citanya tidak tercapai. Jika sudah sampai pada keadaan yang demikian, apa saja bisa dijadikan sebagai alasan untuk merasionalkan bahwa tugas atau pekerjaannya harus ditunda. Pada saat menghadapi suasana seperti itu, hal yang dirasakan nikmat manakala ada tugas atau pekerjaan lain sebagai penggantinya. Tugas baru itu, selain lebih menarik, juga sekaligus bisa digunakan sebagai alasan untuk menghindar dari pekerjaan yang menjenuhkan itu. Rasa jenuh itu ternyata dialami oleh siapapun. Anak-anak, pemuda, para siswa, mahasiswa, guru atau dosen, dan bahkan guru besar bisa mengalami hal yang sama. Siapapun jika sudah merasa jenuh, maka pekerjaan dirasa sebagai siksaan. Menulis skripsi, kata orang mudah dan menyenangkan. Tetapi kalau penyakit jenuh sudah tiba, menulis satu alinea saja beratnya bukan main. Hal demikian tidak terkecuali bagi mahasiswa yang menulis disertasi. Jika penyakit itu datang, berminggu-minggu, berbulan dan bahkan bertahun-tahun, maka disertasi tidak disentuh. Akibatnya, tugas akademik itu tidak akan segera selesai. Penyakit jenuh seperti itu tidak mudah diobati. Seseorang yang sudah jenuh terhadap pekerjaannya, lalu ada seseorang yang memberikan nasehat, bukannya berterima kasih, tetapi justru tersinggung dan bahkan marah. Orang yang merasa jenuh tidak mudah dan bahkan tidak membutuhkan nasehat. Tatkala sudah merasa jenuh, bukan berarti mereka tidak tahu, bahwa sebaiknya pekerjaannya segera diselesaikan. Mereka mengetahui semua itu, hanya persoalannya ia tidak mampu mengusir penyakitnya itu. Terkait persoalan ini, ada saja orang menanyakan, apakah saya tidak pernah mengalami suasana batin kejenuhan seperti itu. Tentu jawab saya secara jujur, sama saja dengan orang-orang pada umumnya. Kejenuhan itu selalu muncul. Orang yang menanyakan itu rupanya ingin tahu, bagaimana saya membuat strategi mengusir penyakit itu. Saya katakan bahwa di antaranya, saya segera berhenti dari melakukan tugas itu. Kemudian berganti untuk mencari kesibukan lain, hingga mencapai rasa jenuh pula. Setelah itu, segera kembali menyelesaikan tugas sebelumnya. Atau, cara lainnya, jika mendapatkan rasa jenuh, maka segera berimajinasi atau membayangkan bahwa jika pekerjaan tersebut tidak segera selesai secara tuntas, akan berakibat buruk pada tugas-tugas lainnya di kemudian hari. Saya selalu membayangkan bahwa, menunda pekerjaan sama artinya dengan bunuh diri. Jika tugas hari itu tidak selesai, maka pada besuk harinya akan terbebani harus menunaikan tugas ganda, yaitu tugas pada hari yang lalu dan tugas pada hari-hari berikutnya. Memang kiranya siapapun sama, menjaga motivasi secara konsistensi atau istiqomah bukan pekerjaan mudah. Motivasi itu harus dibangun dan dipelihara secara terus menerus oleh dirinya sendiri. Melakukan dialog batin dengan diri sendiri adalah juga merupakan salah satu cara efektif untuk memelihara motivasi itu. Dialog batin itu misalnya, selalu mengingat akan keinginan mengejar prestasi, memelihara nama baik, tanggung jawab sebagai pemimpin, kewajiban memberikan ketauladanan dan hal positif lainnya. Cara lainnya untuk menghilangkan rasa jenuh, sementara orang menghilangkannya dengan melakukan rekreasi atau olah raga. Memang dua kegiatan itu penting dilakukan, untuk menyegarkan kembali pikiran maupun badan. Akan tetapi, bagi orang-orang tertentu, cara itu tidak mempan. Sepulang rekreasi atau olah raga, melihat kembali tugasnya yang menjenuhkan, misalnya menyusun skripsi, tesis, atau disertasi, akan segera jenuh kembali. Oleh karena itu, memang banyak cara yang bisa ditempuh untuk mengusir rasa jenuh, sehingga masing-masing orang memiliki strategi yang berbeda-beda. Bagi saya, di antara sekian banyak alternative, cara yang paling efektif adalah melakukan dialog batin itu. Merenungkan tentang makna tugas dalam kontek yang lebih luas, termasuk berbagai keuntungan dan resikonya, adalah merupakan cara yang selama ini agaknya manjur saya gunakan untuk mengusir penyakit yang tidak kelihatan dan belum ada dokternya itu. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang