Ada lagi kegiatan bersama yang menarik, yang diselenggarakan oleh pesantren dan kemudian didukung oleh kementerian agama. Kegiatan itu adalah musabaqoh tilawatil kutub, yang pada saat ini diselenggarakan oleh salah satu pesantren di Kaliwungu, Kendal Jawa, Tengah. Sebelumnya, kegiatan serupa dikenal dengan sebutan musabaqoh tilawatil Qur’an, dilaksanakan mulai dari tingkat desa hingga tingkat nasional. Hasilnya kegiatan itu cukup menarik, yaitu melahirkan semangat dan sekaligus mnendekatkan umat Islam terhadap kitab sucinya.
Kegiatan musabaqoh qira’atil kutub, saya sudah biasa mendengarnya, dilakukan di lingkungan pesantren. Biasanya kegiatan tersebut diikuti oleh para santri dari berbagai pesantren. Dalam kegiatan itu, para peserta diuji secara terbuka oleh para penilai, yang dianggap handal. Kegiatan semacam itu di kalangan santri merupakan hal biasa. Para santri pondok pesantren, sehari-hari mendalami kitab kuning yang menjadi bahan kajian di pesantrennya masing-masing. Santri di pesantren dalam membaca kitab kuning, dituntut agar dilakukan secara benar dalam berbagai seginya, mulai dari cara pengucapan, tata bahasa, makna yang dikandung, penafsirannya, dan lain-lain. Aspek-aspek itulah yang dinilai oleh para dewan penilai. Oleh karena itu, konsep pendidikan tuntas, sebenarnya telah dilaksanakan di pesantren. Para santri dinyatakan lulus, manakala telah berhasil memahami kitab-kitab yang dikaji itu secara sempurna. Umumnya para kyai mnengetahui peta kemampuan para santrinya. Tanpa dilakukan ujian secara formal,—– dan memang tidak dilakukan kegiatan ujian seperti itu, kyai yang sehari-hari mengasuh pesantren, mengetahui kemajuan belajar masing-masing santrinya. Tidak sebatas itu, kyai juga mengetahui santri yang rajin shalat berjama’ah dan tidak. Hubungan antara kyai dan santri yang sedemikian dekat, menjadikan pendidikan yang sebenarnya berjalan dengan baik. Kegiatan musabaqah qira’átil kutub yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Kaliwungu, Jawa Tengah, yang diikuti oleh para kepala KUA (Kantor Urusan Agama) akhir-akhir ini adalah menjadi sangat menarik. Kegiatan itu akan mendorong bagi para pejabat urusan agama paling depan, ——tingkat kecamatan, termotivasi untuk meningkatkan pengetahuan agamanya. Setiap kepala KUA memang rasanya harus menguasai kitab kuning, sebagai petanda bahwa yang bersangkutan telah mampu memahami rujukan ajaran Islam, yaitu al Qur’an dan hadits nabi. Persyaratan itu tidak berlebih-lebihan, oleh karena tidak sedikit masyarakat yang sebenarnya menuntut kemampuan seperti itu. Tidak jarang, masyarakat tatkala menikahkan anaknya misalnya, meminta kepala KUA mewakili dan juga berharap agar ijab dan qobul dilaksanakan dengan menggunakan Bahasa Arab. Masyarakat akan sangat kecewa, jika misalnya, petugas pencatat nikah —– Kepala KUA, tidak bisa memenuhi permintaan itu. Kegiatan Musabaqoh Qira’atil Kutub juga akan membangun kesadaran para mahasiswa perguruan tinggi, khususnya fakultas Syaria’ah dan bahkan juga fakultas lainnya, tentang betapa pentingnya kemampuan membaca kitab. Para pejabat kementerian agama mulai tingkat bawah, seperti kepala KUA biasanya diangkat dari lulusan perguruan tinggi agama. Oleh karena itu semestinya, perguruan tinggi agama Islam, tidak mudah meluluskan mahasiswanya sebelum mereka mampu membaca kitab berbahasa Arab. Musabaqoh Qira’atil Kutub yang diselenggarakan bagi kalangan Kepala KUA, menurut hemat saya, akan benar-benar membangkitkan kesadaran, terhadap betapa pentingnya pengetahuan itu dimiliki oleh para pejabat kementerian agama. Selain itu, semestinya juga kepada lembaga pendidikan tinggi Islam. Kegiatan musabaqoh tilawatil kutub akan menyadarkan para mahasiswa, agar tidak merasa hanya akan menghadapi ujian di kampus, tetapi yang justru lebih penting dan berat, adalah ujian di tengah masyarakat. Demikian pula para calon pejabat di lingkungan kementerian agama, mau tidak mau, seharusnya menyesuaikan tuntutan yang sangat logis itu. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang