Tanggal 3 januari 2011 bisa jadi menjadi hari sangat bersejarah bagi Khilfatin Nabawiyah, alumni UIN Malang yang diwisuda pada 23 November 2010. Pasalnya, gadis kelahiran Gresik, 25 September, 1986 itu memperoleh penghargaan dari Menteri Agama, Suryadarma Ali, karena menoreh prestasi gemilang. Khilfatin adalah alumni Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Malang angkatan tahun 2006 yang menulis skrispsi dalam bahasa Arab, dan sekaligus hafal Al Qur’an 30 juz. Penghargaan diberikan di Kementerian Agama Jakarta tepat di hari jadi Kementerian Agama, 3 Januari 2011 bersamaan dengan pemberian penghargaan kepada karyawan-karyawan Kementerian Agama yang berprestasi dari seluruh Indonesia. Pemerintah melalui Menteri Agama layak memberikan penghargaan kepada alumni UIN Malang itu karena prestasinya membanggakan dan setidaknya membuktikan bahwa konversi beberapa lembaga pendidikan tinggi islam (STAIN Malang dan beberapa 5 IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) tidak menjadikan studi agama (keislaman) terpinggirkan sebagaimana kekhawatiran selama ini. Kelahiran UIN ternyata justru menyemarakkan kajian keislaman. Berbagai disiplin ilmu seperti kimia, matematika, fisika, biologi, ekonomi, psikologi, linguistik, pendidikan, hukum, sastra dan seni, kedokteran, farmasi dan lain sebagainya dikaji dengan perspektif Al Qur’an.
Khilfatin layak diapresiasi dan dijadikan contoh bagi lulusan PTAIN yang lain. Dia masuk ke UIN Malang tidak memilih studi agama di Fakultas Tarbiyah atau Fakuktas Syariah, meiainkan Jurusan Fisika yang dianggap salah satu jurusan momok di Fakultas Sains. Sebagian orang menganggap ilmu fisika tergolong sangat sulit sehingga wajar jika tiap tahun peminat masuk jurusan ini sedikit. Di tengah-tengah studi ilmu yang tergolong berat itu, Khilfatin masih menyempatkan diri dengan kesibukan menghafalkan Al Qur’an hingga hafal 30 juz. Khilfatin tentu memiliki daya hafal yang tinggi. Jika tidak, mana mungkin dia bisa hafal semua ayat dalam Al Qur’an. Jika Khilfatin belajar di Fakultas Tarbiyah atau Fakultas Syariah dan hafal Al Qur’an mungkin tidak begitu mengherankan. Sebab, kedua fakultas itu memang mengembangkan ilmu keislaman (Pendidikan Agama Islam dan Hukum Islam). Itu pun masih ditambah prestasi yang lain, yakni kemampuan bahasa Arabnya yang baik, dan menulis karya akhir berupa skripsi dalam bahasa Arab. Khilfatin menjadi sosok yang lengkap: menguasai sains fisika, hafal al Qur’an, dan dapat berbahasa Arab. Prestasi Khilfatin tentu bukan kerja sendiri. Para dosen, kyai di ma’had, dan ustad yang membina hafalan Al Qur’an selama ini juga telah turut serta mengukir prestasi tersebut. Tetapi sebenarnya semuanya berpulang pada Khlfatin sendiri. Sebab, semua keberhasilan atau kegagalan seseorang terletak pada orang itu sendiri. Orang lain yang ada di sekitarnya, seperti para dosen dan ustad, orangtua, teman serta fasilitas serta lingkungan yang ada hakikatnya hanya berperan sebagai instrumen pendukung. Namun demikian, kondisi lingkungan tersebut bisa jadi penghambat keberhasilan seseorang dalam meraih prestasi tertentu jika tidak pandai-pandai memanfaatkannya. Banyak kisah sukses diraih oleh orang dalam kondisi sangat minim segalanya. Tetapi karena gigih berjuang untuk menggapai keberhasilan dan tidak kenal lelah, kondisi serba kekurangan tidak menjadi penghalang, tetapi jutsru menjadi cambuk untuk memacu diri. Sebaliknya, tak terhitung kisah kegagalan yang dialami orang dengan fasilitas cukup bahkan berlebih. Tetapi karena tidak mampu memanfaatkan kelebihan yang dimiliki, maka semua yang ada tidak bermakna bagi dirinya. Mengukir prestasi memang bukan pekerja tiba-tiba dan sekali jadi. Karena itu, bisa saja orang mengatakan bahwa hafalan Al Qur’an Khilfatin sudah dimulai sebelum kuliah di UIN Malang dan kemampuan berbahasa Arabnya juga sudah dimiliki sejak di bangku sekolah menengah. Tetapi juga bisa dijelaskan bahwa sistem pendidikan di UIN Malang yang mensyaratkan mahasiswa harus tinggal di pondok (ma’had) untuk program ta’lim dan semua mahasiswa pada tahun pertama harus kuliah bahasa Arab secara intensif — apa pun jurusannya — merupakan variabel pembentuk prestasi Khilfatin (facilitating variable), bukan penghambat (constraining). Khilfatin adalah sosok lulusan yang diharapkan oleh UIN Malang sesuai visi dan misi yang telah digariskan yang bertumpu pada empat pilar kekuatan, yakni kedalaman spiritual, keagungan akhlak, kedalaman ilmu, dan kematangan profesional. Hafal Al Qur’an merupakan salah satu indikator empirik mengenai kedalaman spiritualnya, sebagai seorang hafidhoh Khilfatin tentu harus menjaga perilakunya, sebagai sarjana sains merupakan wujud keilmuan yang dimiliki, dan keberhasilan menghafal Al Qur’an, menguasai bahasa Arab dan keberanian menulis skripsi dalam bahasa Arab merupakan bukti profesionalisme belajarnya. Jika dia tidak belajar secara profesional, prestasi demikian sulit diraih. Sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam yang mengembangkan sistem pendidkan integrasi agama (Islam) dan sains, tentu UIN Malang belum bisa berpuas diri karena sudah menghasilkan sosok lulusan seperti Khilfatin. Sebab, masih saja ada yang mempertanyakan bagaimana memadukan agama dan sains dalam sistem pendidikan, atau malah ada yang skeptis bahwa memadukan keeduanya merupakan hal yang tidak mungkin, dan karena itu merupakan pekerjaan sia-sia. Sebagai sebuah pendapat, hal demikian sah-sah saja. Tetapi perlu diingat bahwa kelahiran Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia didasari oleh semangat menerjemahkan pesan-pesan Al Qur’an dalam kehidupan nyata, khususnya yang menyangkut ilmu, bahwa Al Qur’an tidak pernah membuat dikotomi keilmuan (antara ilmu agama dan sains), sebagaimana selama ini berkembang. Cara pandang dikotomik demikian dianggap sebagai penyebab utama ketertinggalan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Padahal, jika mau menengok sejarah masa silam Islam pernah membangun peradaban sangat maju sehingga menguasai peradaban dunia ketika para ilmuwan muslim mengembangkan ayat-ayat kauniyyah dan qouliyyah secara integratif dan holistik, sehingga tidak ada dikotomi atau polarisasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Cara pandang demikian yang mesti dilakukan oleh umat Islam jika ingin tampil di depan dalam kehidupan global yang sangat kompetitif seperti saat ini. Karena itu, untuk mencapai hal itu reorienatsi dan rekonstruksi model pendidikan Islam mesti dilakukan secara menyeluruh. Konversi IAIN dan STAIN menjadi UIN merupakan jawabannya. Selain itu, kehadiran Universitas Islam Negeri (UIN) juga dimaksudkan untuk menerjemahkan doktrin Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, atau doktrin universal. Sebagai agama pembawa rahmat bagi apa pun yang ada di muka bumi, Islam tentu mengajarkan bagaimana berhubungan dengan sesama manusia, alam dan lingkungan sekitarnya, membangun kemajuan berdasarkan nilai-nilai Islami, dan mengolah sumber-sumber kekayaan alam tanpa melakukan perusakan. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin orang Islam bisa melakukan itu semua jika tidak menguasai ilmu pengetahuan? Karena itu, sebagai kitab suci, Al Qur’an membicarakan semua itu dalam garis-garis besarnya dan memerintahkan umat Islam untuk memikirkannya. Itu sebabnya ayat pertama yang turun adalah perintah untuk membaca (iqra’). Membaca tentu bukan sekadar melafal huruf, tetapi juga terkandung makna untuk memahami. Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyatakan bahwa para penggagas, pelopor, dan pendiri UIN Malang tentu akan sangat bangga melihat prestasi Khilfatin. Sebab, jika alumni lembaga pendidikan tinggi Islam ini sudah menguasai sains, dapat berbahasa Arab dengan baik, dan hafal Al Qur’an 30 juz, akhlak dan moralnya terjaga, maka apa lagi yang masih diragukan. Khilfatin adalah eksemplar sosok lulusan UIN Malang yang dicita-citakan. Kita semua berharap akan lahir lulusan seperti Khilfatin yang tidak saja menjadi kebanggaan sivitas akademika UIN Malang dan tentu kedua orangtuanya, tetapi juga masyarakat perguruan tinggi Islam di mana saja. Selamat untuk Khilfatin. Congratulation ! Malang, 8 Januari 2011
Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo
Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang