Menghilangkan Rasa Sumpek

Seringkali hanya karena kurang bisa merasakan nikmat, maka apa yang sebenarnya sudah ada tidak bisa dinikmati. Keadaan dirasa sumpek. Segala sesuatu dirasakan serba kurang dan ingin yang lebih sempurna atau komplit.

Terkait dengan keadaan itu, ada sebuah cerita. Sumber cerita itu sendiri, saya juga sudah tidak ingat lagi. Tetapi saya tidak pernah melupakan isi cerita itu, karena bagi saya cukup menarik. Selain itu, apakah kejadian dalam cerita itu benar, saya juga tidak pernah pedulikan. Cerita itu adalah sebagai berikut. Ada seorang kepala keluarga, karena rumahnya sempit, sedang keluarganya semakin bertambah banyak jumlahnya, sehari-hari dia mengeluh. Dirasakan rumahnya sudah semakin tidak mencukupi. Sepulang dari kerja, semestinya dia bisa istirahat, duduk-duduk, ternyata tidak bisa dilakukan, karena terganggu oleh anak-anaknya yang menempati ruang itu juga. Keadaan itu dianggap semakin hari semakin menyiksa dirinya dan lama-kelamaan menjadi tidak tahan. Suasana rumah menjadi sangat sumpek. Mau pindah dan atau membuat rumah baru, dengan keadaan ekonomi pas-pasan, maka tidak akan mungkin dilakukan. Untuk mengatasi keadaan yang dirasa sudah sangat sumpek itu, orang tersebut mencoba datang ke rumah seorang kyai, barangkali ada nasehat yang tepat. Setelah diungkapkan persoalan yang sedang dihadapinya itu, kyai memberikan saran kepadanya, agar dia membeli kambing. Atas saran itu dia malah bertambah bingung, kambing itu harus diapakan. Oleh kyai disarankan agar kambing itu dipelihara. Diceritakan bahwa, selain rumah kecil itu, dia sudah tidak punya tempat dan bahkan sisa tanah untuk kandang kambing. Oleh kyai disarankan, agar kambing itu, kalau malam supaya diletakkan di dalam rumah sekalipun sempit itu. Berbekalkan petunjuk kyai itu dia pulang. Di jalan dia berpikir dan bertanya dalam hati, kenapa kyai memberi saran yang tidak masuk akal itu. Bukankah, dia sudah laporkan bahwa rumahnya sedemikian sempit, mengapa kyai malah menyuruh membeli kambing dan menyarankan supaya meletakkannya di rumah itu pula. Begitu percayanya pada kyai, maka esok harinya, dia ke pasar membeli kambing. Mengetahui hal itu, semua keluarganya memprotes. Apalagi, jika malam hari, kambingnya diletakkan di dalam rumah sempit itu bersamanya. Maka yang terjadi adalah kekacauan. Semua keluarga tidak saja terganggu dengan kehadiran binatang itu, tetapi juga muak dengan bau kotorannya yang tidak karuan. Baru beberapa hari saja, semua keluarganya tidak kuat menanggung beban penderitaan yang diakibatkan oleh nasehat kyai tersebut. Maka, dia kembali ke rumah kyai dan melaporkan keadaannya setelah nasehat itu dilaksanakan. Dilaporkan bahwa, setelah di rumah ada kambing, ternyata keadaan semakin kacau, semua keluarga marah-marah, dan belum lagi bau di rumah sudah tidak karu-karuan. Atas laporan itu, kyai menyarankan agar bersabar dan menahan sampai beberapa hari lagi untuk dievaluasi keadaannya. Saran itu diikuti, sekalipun dia dan keluarganya sudah sangat menderita. Dia masih percaya, bahwa suatu ketika ketenagan itu akan dirasakan dan rasa sumpek akan hilang. Hari berikutnya dia datang lagi pada kyai, melaporkan bahwa sudah tidak mungkin bisa bertahan, dan memohon nasehat kyai lebih lanjut. Akhirnya kyai menyarankan agar segera pulang dan kambingnya segera dipotong serta dagingnya dimasak dan dimakan bersama keluarganya. Kyai juga menyarankan agar, setelah itu dia segera datang kembali ke rumahnya. Semua saran kyai itu, dia laksanakan. Kambing sudah dipotong, dimasak, dan dimakan bersama keluarganya. Hari berikutnya, dia segera datang ke rumah kyai untuk melaporkan semua hal yang telah dilaksanakan. Atas laporan itu, kyai menanyakan tentang keadaan semalam setelah di rumahnya sudah tidak ada kambing, apakah masih dirasakan sumpek. Sambil tersenyum, pertanyaan kyai itu dia jawab, bahwa sekarang sudah tidak sumpek lagi. Kambingnya sudah tidak ada, sehingga mereka sudah tidak tidur bersama kambing dan rumahnya juga sudah tidak berbau lagi. Semalam itu, dia dan juga keluarganya sudah bisa tidur nyenyak dan tidak sumpek lagi. Melalui cerita konyol ini, kita pun menjadi paham, bagaimana cara menghilangkan rasa sumpek, sekalipun tidak harus membeli kambing segala. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share